Bisnis.com, JAKARTA - Dominasi perusahaan efek asing di Indonesia seolah-olah tidak bisa tergeser hingga kini. Per September 2014, dari sepuluh perusahaan efek dengan total nilai transaksi terbesar, yang tercatat di Bursa Efek Indonesia sembilan di antaranya merupakan perusahaan efek asing.
Sembilan perusahaan efek itu menguasai 32,7% pangsa pasar. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang 2014 (per kuartal III) yang Bisnis olah, sembilan perusahaan efek tersebut a.l Credit Suisse Securities Indonesia dengan nilai transaksi Rp105,76 triliun, UBS Securities Indoensia dengan nilai transaksi Rp101,71 triliun.
Lalu, disusul CIMB Securities Indonesia dengan nilai transaksi Rp100,65 triliun dan Deutsche Securities Indoensia dengan nilai Rp90,66 triliun. Kemudian ada Maybank Kim Eng Securities dengan total nilai transaksi Rp87,76 triliun.
Selain itu, ada CLSA Indonesia dengan transaksi Rp84,65 triliun, Macquarie Capital Securities Indonesia dengan nilai Rp82,61 triliun, Morgan Stanley Asia Indoensia dengan nilai Rp81,54 triliun dan Merrill Lynch Indonesia dengan total nilai transaksi Rp62,17 triliun.
Dari sepuluh perusahaan efek itu, hanya satu perusahaan anak usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Mandiri Sekuritas yang masuk jajaran dan berada di peringkat keempat dengan total nilai transaksi Rp100,08 triiliun. Melihat data tersebut, jelas tidak ada satupun perusahaan lokal yang masuk dalam jajaran perusahaan efek dengan total nilai transaksi terbanyak.
Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai wajar bila sebagian besar perusahaan efek yang memiliki nilai tranaksi terbesar dikuasai oleh asing.
Selama ini, perusahaan sekuritas asing memberikan batas minimum investasi kepada investor yang ingin berinvestasi. Jadi, tidak semua investor bisa menggunakan perusahaan efek asing.
“Perusahaan sekuritas asing ternyata ada batas minimum transaksi harian yang dikenakan, wajar tidak semua investor bisa masuk. Yang masuk itu yang institusi dan investasi besar, kebanyakan asing juga,” kata Budi saat dihubungi Bisnis.com, Senin (15/12/2014).
Dia menggambarkan, saat ini investor di pasar saham 60% merupakan investor asing. Menurutnya, sebagian besar investor asing itu lebih percaya bila menggunakan perusahaan sekuritas asing. Hal inilah yang membuat nilai transaksi perusahaan efek asing terus membuntal.
“Wajar saja kan, mereka banyak, sebagian besar-besar, institusi, yang perusahaan lokal ibaratnya jadi tidak kebagian,” jelasnya.
Direktur PT Evergreen Capital Rudy Utomo mengatakan untuk bisa bersaing dengan perusahaan efek asing, tidak bisa mengandalkan bantuan pihak otoritas, baik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun BEI.
Menurutnya, hal tersebut merupakan kesadaran dari masing-masing perusahaan efek lokal untuk menghadapi persaingan. “Tidak boleh minta bantuan OJK atau BEI, dalam aturan OJK tidak ada yang namanya asing atau lokal. Semua tergantung perusahaan efek masing-masing,” kata Rudy saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (16/12/2014).
Menurutnya, tidak semua perusahaan efek lokal tidak dapat bersaing. Dia menyebut PT Indo Premier merupakan perusahaan efek lokal yang saat ini bisa bersaing. “Semua punya strategi masing-masing dalam menghadapi persaingan yang ada, khususya menjelang MEA 2015 ini,” tambahnya.
Perusahaan efek lokal dinilai bisa memaksimalkan potensi investor ritel dan calon investor ritel yang besar. “Perusahaan efek asing tidak melayani ritel yang investasi Rp20 juta, itu kan bisa dilayani oleh lokal. Banyak sebenarnya perusahaan lokal yang memiliki kemampuan seperti asing.”