Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia meminta otoritas Bursa Efek Indonesia mengevaluasi kembali kebijakan terkait perubahan fraksi harga saham yang berlaku sejak 6 Januari 2014.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Susi Meilina mengatakan perusahaan efek sudah menyatakan keberatan sejak awal ketika kebijakan baru tersebut diwacanakan. Namun, pihak BEI tetap menginginkan perubahan tersebut dengan alasan untuk menjaga kestabilan transaksi perdagangan dan indeks harga saham gabungan (IHSG).
“Saat aturan tersebut dikeluarkan, memang banyak sekuritas yang keberatan karena berbagai pertimbangan. Ketika itu, kata pihak bursa, lihat dulu dalam waktu enam bulan,” kata Susi saat dihubungi Bisnis, Rabu (1/10/2014).
Setelah enam bulan terlewati, APEI mengumpulkan seluruh anggotanya untuk membicarakan hal ini. Dalam pertemuan tersebut diputuskan bahwa APEI meminta BEI untuk mengevaluasi aturan tersebut. Pasalnya, berdasarkan data yang dikumpulkan APEI, banyak investor ritel yang terpukul karena transaksi harga.
Hal tersebut juga memberikan efek berantai pada sekuritas-sekuritas, terutama sekuritas yang banyak memiliki nasabah ritel. “Kami kumpulkan pendapat dan data-data, terbukti untuk ritel turun jauh. Kami sudah diskusi, kami sudah minta waktu direksi bursa bertemu beberapa waktu lalu, yang pasti kami membawa data dan analisis dan intinya kami ingin agar fraksi harga di-review kembali,” terang Susi.
Sejak awal, kata Susi, tujuan BEI mengubah satuan perdagangan dan fraksi harga adalah untuk meningkatkan kinerja pasar modal, mulai dari transaksi perdagangan hingga kestabilan IHSG. Namun pada kenyataannya, aturan tersebut justru mematikan investor ritel sehingga dinilai berbanding terbalik dengan tujuan awalnya.
Memang, kata Susi, bagi investor institusi aturan ini justru menguntungkan. Namun, dia meminta agar BEI mengingat kembali tujuan awal, yakni menjaring investor ritel. Menurutnya, percuma bila pasar modal dalam negeri memiliki indeks yang stabil tetapi investor ritel perlahan-lahan angkat kaki.
“Kan bukan hanya intitusi yang ingin terus berkembang, ritel juga. Sekuritas-sekuritas yang banyak memiliki investor ritel ikut tercekik karena investor pada kabur, bagaimana ini kan.”
Susi menegaskan, selain membuat sekuritas lokal tertekan, sekuritas asing juga merasakannya. Jadi, ketika ada anggapan aturan ini hanya menekan sekuritas lokal, itu tidak bisa dibenarkan seluruhnya.
“Coba dilihat CIMB atau Daewoo itu, berdasarkan data itu mereka juga mengalami penurunan yang cukup signifikan. Secara urutan atau peringkat, asing memang masih teratas, tetapi value turun jauh. Kalau Credit Suisse Securities mungkin tidak pengaruh,” tambahnya.
Berdasarkan data BEI yang Bisnis olah, total nilai transaksi perdagangan saham sepuluh perusahaan efek dengan nilai transaksi tertinggi turun hampir 30% sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Penurunan transaksi terbesar dialami oleh CIMB Securities Indonesia yang turun hingga 68,07% dengan nilai transaksi Rp77,33 triliun dari transaksi sebelumnya yang mencapai Rp129,97 triliun. Adapun nilai transaksi Daewoo Securities Indonesia turun menjadi Rp44,67 triliun dari perolehan Rp55,51 triliun.
Menurut Susi, pihaknya tidak meminta aturan tersebut dikembalikan seperti sebelumnya. Hanya saja, dia meminta aturan bisa dievaluasi agar menjadi lebih menguntungkan semua pihak. Adapun untuk aturan satuan perdagangan, APEI menilai hal tersebut tidak masalah.
“Kami hanya minta yang fraksi. Dulu itu fraksi harga saham terdiri lima kelompok, diubah menjadi tiga kelompok. Usulan kami agar setidaknya bisa dijadikan empat kelompok, kami sudah utarakan dengan pihak bursa, mereka menerima kami dengan baik dan positif.”
Sanusi, Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI) mengatakan aturan tersebut memang sudah seharusnya dievaluasi. Adapun pihaknya sudah menghadap pihak BEI untuk membicarakan hal ini.
Menurutnya, pihaknya sudah mengumpulkan investor untuk mengambil sikap terkait hal ini. “Karena terbukti kebijakan ini tidak baik bagi pasar, dulu bilang enam bulan akan dievaluasi, sampai sekarang belum juga, maka kami temui,” kata Sanusi saat dihubungi Bisnis, Rabu (1/10).
Dia berharap, pihak bursa bisa melakukan evaluasi dengan lebih bijaksana. Dia mencontohkan, sejak berlakunya aturan ini, ada investor yang sama sekali tidak melakukan transaksi atau berhenti.
“Ini sangat disayangkan, sejak aturan satuan perdagangan (lot size) dan fraksi harga baru berlaku banyak yang berhenti, padahal ritel sangat potensial. Kalau mau, satu-satu berlakukan aturan, jangan langsung dua.”