Bisnis.com, JAKARTA- Trust Securities mengemukakan bursa saham Asia tercatat melemah sepanjang pekan ini.
“Rilis neraca perdagangan dan outstanding loan growth China serta GDP Jepang yang di bawah estimasi pasar memberikan efek negatif, sehingga laju bursa saham Asia pun tertekan,” ujar Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada dalam risetnya.
Pelaku pasar, ujarnya, menilai perlambatan masih terjadi dan belum sesuai dengan keinginan mereka.
Saham-saham yang mengalami kenaikan sebelumnya akhirnya terkena aksi jual. Di tambah lagi dengan kembali melemahnya sejumlah mata uang emerging market, memberikan dampak yang kurang nyaman bagi pelaku pasar, sehingga pelemahan kembali berlanjut.
Sementara itu rilis suku bunga acuan BoJ yang tetap bertahan di level rendahnya, memberikan sentimen positif dan dapat mengimbangi sentimen negatif dari melemahnya laju bursa saham AS-Eropa sebelumnya.
“Pelaku pasar masih menganggap BoJ masih mempertahankan kebijakan pelonggaran moneternya,” ujar Reza.
Selain itu, tambahnya, berkurangnya defisit neraca perdagangan India. Pernyataan Gubernur Bank Sentral China, Zhou Xiaochuan, tingkat suku bunga deposito akan diliberalisasikan selama 1-2 tahun dan juga kemungkinan suku bunga akan naik bertahap seiring berkurangnya pengendalian dari pemerintah, turut direspons positif pelaku pasar.
Reza mengatakan di rilisnya kenaikan unemployment rate Korea Selatan, turunnya consumer confidence Jepang, dan penurunan indeks consumer confidence Australia yang dibarengi dengan stagnannya data pertumbuhan home loans-nya, memberikan imbas negatif pada laju bursa saham Asia.
Di sisi lain, rilis kenaikan BSI large manufacturing Jepang belum mampu meredam sentimen negatif tersebut, karena juga dibarengi dengan meningkatnya nilai tukar yen dan berimbas pada pelemahan bursa saham Asia.
“Di saat laju bursa saham Asia kembali melanjutkan laju variatif-melemahnya, laju bursa saham China dapat berdiri di zona hijau,” ujar Reza.
Kondisi tersebut seiring penilaian positif terhadap rencana otoritas pasar China, yang membolehkan perusahaan publik untuk menjual preferred stocknya. Di sisi lain, pernyataan PM China Li Keqiang bahwa pertumbuhan China sebesar 7,5% dapat dicapai secara fleksibel turut memberikan sentimen positif bagi laju bursa saham China .
“Namun turunnya retail sales dan industrial production China justru direspons negatif oleh bursa saham Asia lainnya,” kata Reza.