Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau (framework convention on tobacco control/FCTC) membuat dua emiten rokok kretek ketar-ketir. Menariknya, wacana itu dinilai membawa keuntungan bagi dua emiten lainnya di bawah bendera asing.
Menurut Analis First Asia Capital David Sutyanto, PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) merupakan dua emiten rokok yang pantas khawatir dengan langkah pemerintah mengadaptasi ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Rencananya, ratifikasi FCTC secara tegas mengatur ketentuan ambang batas terbawah kadar TAR dan nikotin sebesar 5 miligram. Tembakau produksi lokal tidak akan mampu mengikuti aturan main itu karena rata-rata berkadar nikotin tinggi yakni 7 miligram—10 miligram.
Meski begitu, langkah pemerintah menerapkan ratifikasi FCTC di Indonesia tak bakal bergulir mudah. Apalagi, beberapa isu lainnya juga belum sepenuhnya tuntas seperti pengembalian cukai tembakau yang berorientasi pada luasan lahan tanam.
“Ini sudah soal preferensi dan budaya konsumsi masyarakat,” kata David kepada Bisnis, Jumat (7/12)
Sekper Wismilak Surjanto Yasaputera mengakui perseroan memproduksi dan mendistribusikan 100% rokok kretek dengan berbagai merek dagang. Dia menilai serapan bahan baku pabrik rokok dari petani lokal akan merosot tajam, sementara impor tembakau bakal melambung tinggi.
“Itu sama saja menguntungkan mereka yang sudah sejak lama bermain di pasar ‘rokok putih’ dan hingga kini kesulitan mengambil pasar dari rokok kretek,” tegasnya.
Berdasarkan data Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), produksi tembakau nasional mencapai 185.000 ton dari jumlah areal tanam seluas 207.419 hektare. Produktivitas itu menopang pangsa pasar rokok kretek yang mendominasi 94% permintaan konsumsi tembakau di Indonesia.
Artinya, pangsa pasar ‘rokok putih’ bernikotin rendah di Indonesia hanya sebesar 6% yang sebagian besar dikuasai Philip Morris International dan British American Tobacco yang berpenetrasi melalui jejaring PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA).
“Khawatirnya, kita terjebak dengan skenario yang memberikan ruang lebih besar untuk kepentingan dagang dari pihak asing,” keluh Surjanto.