Bisnis.com, JAKARTA—Di tengah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dua emiten telekomunikasi yakni PT XL Axiata Tbk dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk justru gencar memburu pinjaman dalam bentuk valas dengan nilai total US$135 juta.
Pada Senin (26/8), XL Axiata mengantongi fasilitas pinjaman sebesar US$100 juta atau sekitar Rp1,1 triliun dari Bank of Tokyo Mitsubishi. Fasilitas kredit tanpa jaminan itu diberikan dengan jangka pinjaman 3 tahun terhitung sejak tanggal penarikan.
“Tujuan penggunaan fasilitas kredit adalah untuk kebutuhan belanja modal tahunan,” ujar Sekretaris Perusahaan XL Axiata Murni Nurdini, seperti dilaporkan harian Bisnis Indonesia, Rabu (28/8/2013).
Direktur Utama XL Axiata Hasnul Suhaimi menyampaikan pihaknya tidak khawatir kondisi pelemahan nilai tukar rupiah saat ini akan mengganggu beban utang perseroan. Pasalnya, XL telah memberlakukan skema lindung nilai (hedging) pada pembayaran bunga utangnya.
“Bunganya di-hedge, jadi relatif aman,” tulisnya dalam pesan singkat kepada Bisnis.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Keuangan Telkom Honesti Basyir mengungkapkan pihaknya akan mendapat pinjaman luar negeri senilai US$35 juta atau sekitar Rp385 miliar dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
“Penandatanganan perjanjian pinjaman akan berlangsung pada awal September 2013. Tingkat bunga di kisaran 2,5%-3,5%,” ungkapnya.
Kepala Riset PT Trust Securities Reza Priyambada memperkirakan pertumbuhan keuntungan emiten telekomunikasi akan tertekan oleh beban utang valas yang tinggi karena pengaruh selisih kurs. Akan tetapi, sambungnya, tekanan tersebut hanya terjadi dalam bentuk pencatatan laporan keuangan dan tidak berarti nyata.
Dengan asumsi nilai tukar rupiah kembali menguat pada 3 tahun mendatang ketika utang valas jatuh tempo, maka perusahaan tidak akan menanggung kerugian selisih kurs.
“Kalau utang digunakan untuk ekspansi demi produktivitas maka tidak ada masalah, seperti pengembangan jaringan, sinyal atau membeli barang modal.”
Menurutnya, kebutuhan barang modal operator telekomunikasi umumnya dibeli dalam kurs dolar AS, sehingga depresiasi rupiah saat ini tidak mengganggu produktivitas perusahaan.
“Hedging wajib dilakukan karena kurs seringkali tidak sesuai dengan kondisi riil.”
Lembaga pemeringkat utang internasional Fitch Ratings menyatakan profil utang perusahaan sektor telekomunikasi Indonesia sebagian besar akan terpengaruh oleh pelemahan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi mencapai 10% sejak Februari-Agustus 2013.
Associate Director Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Nitin Soni menyampaikan pihaknya meyakini bahwa kombinasi dari
kontrak lindung nilai, periode utang jangka panjang, dan profil utang yang kuat akan mencegah terjadinya peringkat negatif pada sektor telekomunikasi Indonesia dalam jangka pendek.
Meski demikian, jelasnya, sebagian besar arus kas atau free cash flow (FCF) sektor telekomunikasi akan terpengaruh pada 2013 oleh beban bunga yang lebih tinggi dan belanja modal.
Menurut Fitch, dampak depresiasi rupiah paling besar dialami oleh PT Indosat Tbk karena 43% dari total utangnya berdenominasi dolar AS atau sekitar US$950 juta, dan hanya 25% yang telah di-hedging.
Sementara itu, Telkom dinilai terisolasi dari depresiasi rupiah karena hanya memiliki utang valas US$180 juta atau 12% dari total utang.
XL Axiata juga dianggap dalam posisi nyaman dengan utang valas yang hanya US$310 juta atau 19% dari total utang dan 92%-nya telah dilindung nilai.
Pada perkembangan lain, Telkom menyiapkan dana tunai hingga Rp10 triliun untuk pembelian kembali (buyback) saham nya di tengah anjloknya indeks. (Nenden Sekar A)