BISNIS.COM, JAKARTA—Harga karet kian menurun setelah gagalnya perundingan International Tripartite Rubber Corporation (ITRC) tentang pembatasan ekspor karena adanya pasokan dari negara di luar kelompok tersebut yang membuat stok melonjak.
Azis Pane, Ketua Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) mengatakan, harga karet makin tidak terkontrol karena adanya pasokan karet yang melimpah dari beberapa negara produsen karet yang baru, seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja.
“Pertemuan ITRC di Palembang pada Mei lalu gagal mencapai kesepakatan akan adanya pembatasan ekspor karena hal tersebut. Setelah itu saya usul agar ITRC dibubarkan dan dibentuk asosiasi produsen karet setingkat Asean,” ujar Azis ketika ditemui dalam diskusi tentang industri karet di Pomelotel, Jakarta Selatan, pada Senin (24/6/2013).
Dia menambahkan untuk pergerakan harga karet di Indonesia, saat ini sedang direncanakan untuk ditentukan melalui perdagangan berjangka dalam negeri, salah satunya melalui Bursa Derivatif dan Komoditas Indonesia, atau yang secara global disebut ICDX.
“Namun hal itu akan menjadi berat, karena harga yang berada di Indonesia ini sudah turun temurun dari dulu ditentukan oleh para tengkulak itu. Selain itu menurutnya terdapat kecurigaan adanya sebuah konglomerasi yang berusaha menguasai perdagangan tersebut,” katanya pada Senin (24/6).
Menurutnya jika perdagangan berjangka tersebut akan diberlakukan, pasti akan terjadi penolakan dari beberapa pedagang yang juga menjadi tengkulak dari petani tersebut.
Adapun mengenai rencana pemberlakuan Bea Keluar (BK) untuk komoditas karet, dia menjelaskan bahwa pemberlakuan BK terhadap komoditas karet akan menjadi kontra produktif. Menurutnya pada gilirannya hal tersebut akan menjadi beban bagi petani karet, maka akhirnya tidak jadi diberlakukan.
Sementara berdasarkan data Dadan Pengkajian Kebijakan dan Iklim Usaha Industri (BPKIMI), salah satu industri yang diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka mengisi pasar ASEAN adalah industri produk berbasis agrobisnis (CPO, kakao, karet).
Industri tersebut di atas diprioritaskan untuk dikembangkan karena memiliki daya saing yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Penurunan Harga
Harga karet turun, menuju penurunan bulanan kelima, karena pasokan melonjak di tengah kekhawatiran bahwa permintaan akan melemah dari China, konsumen terbesar di dunia dari komoditas yang digunakan dalam ban tersebut.
Nilai kontrak untuk pengiriman November di Tokyo Commodity Exchange turun sebanyak 1,3% menjadi 233,3 yen per kilogram (US$2.376 per ton), mendekati level terendah dalam 9 bulan dari 228 Yen pada 21 Juni. Kontrak diperdagangkan di level 234,1 yen pada Senin lalu pukul 11.17, memperdalam penurunan untuk bulan ini sampai 9%.
Goldman Sachs menurunkan proyeksi untuk produk domestik bruto China menjadi 7,4% pada 2013 dari 7,8%, setelah adanyanya sinyal buruk dari pengetatan kondisi keuangan. Goldman juga memangkas proyeksi pertumbuhan China untuk 2014, menjadi 7,7% dari 8,4%. Sementara nilai karet berjangka di Shanghai diperdagangkan mendekati level terendah dalam lebih dari 3 tahun.
"Sentimen situasi bearish di Shanghai saat ini menjalar hingga ke pasar Tokyo," kata Hideshi Matsunaga, seorang analis broker ACE Koeki Co seperti dikutip di Bloomberg pada Senin (24/6).
Adapun harga untuk pengiriman September di Shanghai Futures Exchange turun 1,4% menjadi 17.255 yuan (US$2.810) per ton. Harga sempat meluncur ke 17.000 yuan pada 21 Juni, level terendah sejak 2009.
Berdasarkan survei dari 9 gudang di Shanghai, Shandong, Yunnan, Hainan dan Tianjin, persediaan karet alam naik untuk minggu ketiga sebesar 48 ton menjadi 114.556 ton. Sementara menurut International Rubber Study Group, China mengkonsumsi 3,85 juta ton karet alam tahun lalu, mewakili 34% dari konsumsi global.
Lebih lanjut, menurut Institut Penelitian Karet Thailand, harga karet free on-board Thailand turun 0,6% menjadi 85,95 baht (US$2,76) per kilogram pada 21 Juni lalu.