Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

INDUSTRI REKSA DANA: Mencari Cara Jitu Kejar 5 Juta Investor

Otoritas Jasa Keuangan menargetkan jumlah investor reksa dana bisa menembus angka 5 juta investor pada 2020, angka yang pernah ditargetkan Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia untuk bisa dicapai pada 2017. Sayangnya, target tersebut gagal diraih. 
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan menargetkan jumlah investor reksa dana bisa menembus angka 5 juta investor pada 2020, angka yang pernah ditargetkan Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia untuk bisa dicapai pada 2017. Sayangnya, target tersebut gagal diraih. 

Ya, pada 2015 lalu, Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) membidik sebanyak 5 juta investor bisa meramaikan industri reksa dana dalam negeri. Bersamaan dengan target tersebut, dana kelolaan pada 2017 juga dipatok tinggi mencapai Rp1.000 triliun. Seluruh pelaku industri reksa dana, termasuk otoritas pasar modal berupaya untuk bisa mencapai target itu.

Realitasnya, target hanyalah target. Per Juli 2018, jumlah investor reksa dana yang tercatat di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) baru mencapai 822.221. Jumlah tersebut sudah naik 50,69% dari setahun lalu yang sebanyak 545.635 investor. Jumlah yang masih sangat rendah dibandingkan dengan target OJK  pada 2020. 

Kepala Bagian Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Investasi OJK Solihin menyampaikan bahwa OJK optimistis target 5 juta investor bisa diraih pada 2020. Berbagai upaya tengah disiapkan oleh otoritas untuk mengerek jumlah investor. Setidaknya, ada tiga strategi yang segera dilakukan. 

 Pertama, memangkas tarif transaksi pembayaran antarbank untuk pembelian reksa dana pasar uang. Reksa dana pasar uang dipilih karena dianggap sebagai produk yang paling ideal untuk investor pemula. Solihin mencontohkan, ada banyak produk reksa dana pasar uang yang dijual dengan minimal pembelian Rp100.000. 

Produk berjenis ini cukup diminati oleh investor ritel, terutama pemula, meskipun imbal hasil atau return yang diterima tidak sebesar reksa dana saham atau reksa dana pendapatan tetap.

 Dengan alasan itulah otoritas merasa perlu memberikan kemudahan atau sibsidi dalam bentuk tidak langsung kepada investor jenis ini. "Ini untuk menghindari jangan sampai nanti imbal hasilnya malah lebih rendah dari biaya transaksi," kata dia.

 Kedua, menjalin kemitraan dengan peritel modern. Ada dua perusahaan ritel terkemuka yang tengah dijajaki oleh OJK, yakni PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (AMRT) yang merupakan pengelola ritel Alfamart dan PT Indarmaco Primatama, pengelola gerai Indomaret.

 Nantinya, gerai ritel modern itu bisa melayani pembayaran pembelian reksa dana. Ini ditujukan untuk masyarakat yang berminat investasi, tetapi tidak memiliki rekening di perbankan. "Sedang kami kaji mekanisme pembayaran dengan dua ritel modern yang ada," sambungnya.

 Sebelumnya, OJK juga sudah menjalin kemitraan dengan PT Pos Indonesia (Persero). Namun, sejauh ini dianggap masih belum efektif. Selain karena sosialisasi yang minim, pihak Pos juga masih belum melakukan langkah agresif untuk penetrasi pasar. 

Upaya ketiga adalah menggandeng agen laku pandai perbankan. Penetrasi pasar menggunakan agen laku pandai yang dilakukan perbankan dinilai cukup efektif. Berdasarkan data OJK, secara total agen laku pandai telah berkontribusi terhadap pembukaan 20 juta rekening bank.

Mekanisme serupa juga akan diadopsi untuk pengembangan industri reksa dana. Untuk tahap awal, pemanfaatan agen ini akan diterapkan untuk produk reksa dana dengan tingkat risiko yang rendah. Tentunya, OJK juga memberi pembekalan untuk para agen tersebut.

"OJK perbankan mengatakan bahwa ini bisa dilakukan, karena agen laku pandai memang untuk produk keuangan termasuk asuransi dan reksa dana," kata Solihin.

 Langkah OJK itu memang patut diapresiasi. Akan tetapi, pertumbuhan jumlah investor selalu tidak sejalan dengan kenaikan dana kelolaan. Sebab, investor yang disasar oleh otoritas dan manajer investasi kali ini adalah dari segmen ritel, yang harus diakui isi kantongnya tidak sebanyak investor institusi. 

Secara matematis, rata-rata pertumbuhan dana kelolaan atau nilai aktiva bersih (NAB) industri reksa dana nasional per tahun sebesar 18,74% sejak 2012. Adapun, pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun lalu yakni 35,05%.

 Jika pada pengujung tahun ini dan 2 tahun ke depan terjadi kenaikan NAB sebesar 20% per tahun, pada 2020 total NAB masih sekitar Rp790,56 triliun. Dengan kata lain, untuk menuju Rp1.000 triliun masih butuh sekitar Rp210 triliun lagi.

 Dalam hal inilah dibutuhkan kontribusi atau peran dari manajer investasi dan agen penjual efek reksa dana (APERD). Tidak sedikit APERD  berbasis media dalam jaringan yang tengah menyasar investor institusi.

 PT Star Mercato Capitale misalnya, yang telah mengembangkan platform untuk investor institusi melalui portal tanamduit.com. Bahkan, perseroan akan merealisasikan layanan baru ini dalam waktu dekat. "Kuartal ini sudah ada yang masuk investor institusi," kata Director of Business Development tanamduit Muhammad Hanif.

 Selama ini, investor institusi lebih mengarah kepada agen penjual yang beroperasi dengan sistem konvensional. Hanif menambahkan, keuntungan investor institusi masuk ke dalam tanamduit adalah untuk meningkatkan likuiditas. "Untuk perusahaan biasa selain dana pensiun dan asuransi ini akan menguntungkan dari sisi likuiditas," ujarnya.

 Direktur PT Sinarmas Asset Management Jamial Salim optimistis target jumlah investor itu akan terealisasi pada 2020. Asalkan, upaya pemerintah diimbangi oleh peran dan pengembangan yang dilakukan oleh penyedia layanan finansial teknologi.

 "Target itu masih realistis, asal didukung oleh tekfin dan kebijakan digital ekonomi yang mendukung." Jamial menambahkan, penetrasi fintek ini hanya akan berkontribusi penuh pada penambahan jumlah investor ritel.

 Head of Fintech PT Tokopedia Samuel Sentana menambahkan, selama produk yang dihadirkan oleh manajer investasi cukup terjangkau dari sisi harga, peningkatan jumlah investor reksa dana sangat mungkin untuk terealisasi. Sebab, faktor utama masyarakat bersedia untuk investasi adalah dari sisi ongkos yang dikeluarkan.

 Kegagalan dalam merealisasikan target jumlah investor dan dana kelolaan pada tahun lalu hendaknya dijadikan pelajaran agar pada 2020 target itu tak lagi meleset.

 Sejumlah pekerjaan rumah memang masih menunggu untuk dituntaskan. Di antaranya adalah keterjangkauan harga produk, regulasi pendukung, dan terutama edukasi ke masyarakat mengenai pentingnya investasi sehingga pasar industri ini lebih berkembang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Tegar Arief
Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper