Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengintip Kesiapan Kalbe Farma Mengadang Badai

Menggeluti industri farmasi seperti mencari ikan di laut dalam. Memiliki potensi melimpah tetapi rentan dihantam badai. Tak terkecuali bagi perusahaan sekelas PT Kalbe Farma Tbk.
Tahun Kambing Kayu ini sepertinya akan menjadi tahun pembuktian bagi semua orang. /Bisnis.com
Tahun Kambing Kayu ini sepertinya akan menjadi tahun pembuktian bagi semua orang. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Menggeluti industri farmasi seperti mencari ikan di laut dalam. Memiliki potensi melimpah tetapi rentan dihantam badai. Tak terkecuali bagi perusahaan sekelas PT Kalbe Farma Tbk.

Sepanjang Desember 2014, Vidjongtius yang menjabat sebagai Direktur Keuangan Kalbe Farma ketar-ketir. Sebabnya apalagi kalau bukan karena mata uang rupiah yang terus inferior menghadapi dolar Amerika Serikat. Saking loyonya, rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp12.900 per US$, nilai tukar terburuk sejak krisis 1998.

Jajaran direksi emiten berkode KLBF ini memang pantas khawatir. Mata uang garuda yang terus melemah sama artinya dengan kenaikan ongkos produksi. Maklum, industri farmasi memang masih mengandalkan bahan baku impor untuk membuat obat. Porsinya bahkan bisa mencapai 90%. Manajemen Kalbe sendiri menuturkan, setiap kenaikan rupiah sebesar 10%, ongkos produksi akan naik 3,5%.

Sialnya, mata uang rupiah diperkirakan masih akan bergerak liar di Tahun Kambing Kayu ini. Beberapa analis memprediksi mata uang lokal ini akan bergerak di kisaran Rp12.000-Rp12.500, seiring dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat.

Ini jelas menjadi alarm merah bagi emiten farmasi seperti Kalbe Farma. Vidjongtius menuturkan, dampak pelemahan rupiah ini akan terasa setidaknya pada Maret 2015. Saat itulah persediaan bahan baku perseroan akan habis dan harus melakukan impor kembali. Siklus habisnya persediaan dan kebutuhan impor ini biasanya terjadi dalam kurun waktu 3-4 bulan sekali.

Dampak kenaikan ongkos produksi yang sudah hampir pasti dirasakan Kalbe ini membuat manajemen harus memutar otak dengan cepat. Vidjongtius berharap pihaknya bisa melakukan kombinasi antara efisiensi operasional dan produktivitas yang lebih tinggi. Mungkinkah hal tersebut dilakukan?

David N. Sutyanto, Analis PT First Asia Capital menuturkan, ruang gerak emiten farmasi untuk melakukan efisiensi sangat sempit. Ini juga diperparah dengan kenaikan biaya distribusi seiring dengan penaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Tak ayal, efisiensi jelas bukan pekerjaan yang mudah.

Kendati demikian, Vidjongtius tetap optimistis. Salah satu sasaran utama efisiensi KLBF adalah di sisi supply chain. Jika ini berhasil, depresiasi rupiah tidak akan terlalu signifikan menggerus laba perseoroan. Kalbe sendiri mematok kurs tahun ini di level Rp12.000. Jika rupiah bertahan di atas level tersebut dalam waktu lama, mimpi buruk bagi Kalbe akan menjadi kenyataan.

“Strateginya memang harus kombinasi antara efisiensi dan peningkatan produktivitas,” ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.

Di sisi lain, KLBF juga sudah menyiapkan modal kerja berdenominasi dolar AS untuk mengantisipasi depresiasi rupiah. Jumlahnya mencapai US$40 juta-US$50 juta yang akan digunakan untuk membeli bahan baku. Strategi ini setidaknya bisa memperlonggar cengkraman depresiasi rupiah.  

Selain badai depresiasi rupiah, emiten farmasi juga patut mewaspadai tingkat inflasi yag terlampau tinggi. Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo. Menurutnya, dampak inflasi berpotensi menggerus daya beli beli masyarakat. Apalagi bagi produsen obatover the counter (OTC) seperti Kalbe, dampak ini akan sangat terasa.

Kekhawatiran Satrio ini setidaknya terkonfirmasi oleh data inflasi Desember 2014 yang mencapai 8,36%. Angka ini melampaui ekspektasi para analis yang memperkirakan pertumbuhan inflasi dibandingkan bulan sebelumnya tidak lebih dari 2%. Sebagai catatan, pada November 2014 inflasi masih berada di level 6,23%.

“Saat ini rupiah masih di level jelek. Ini tidak bagus buat emiten farmasi. Belum lagi dampak inflasi yang menggerus daya beli masyarakat,” katanya kepada Bisnis.

Kendati rentan dihantam bagai fluktuasi rupiah dan inflasi, industri farmasi sekali lagi memang seperti mengail di laut dalam. Sejumlah analis tetap memproyeksikan emiten farmasi bisa tumbuh baik dari sisi fundamental maupun harga saham.

David misalnya, memprediksi pertumbuhan industri tahun ini bisa di kisaran 15%. Salah satu ‘ikan besar’ yang potensial adalah pasar obat generik yang terus menggeliat. Implementasi sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi salah satu faktornya.

Tidak heran jika Satrio pun memperkirakan obat generik kian dilirik oleh produsen yang tadinya enggan memasuki bisnis tersebut. Menurutnya, pertumbuhan emiten yang mengandalkan penjualan obat generik akan lebih besar ketimbang produsen OTC.

Manajemen KLBF sendiri tidak mau terlalu agresif mematok target pertumbuhan di tahun ini. Vidjongtius cukup puas dengan target pendapatan 15% di 2015. Di akhir 2014, pendapatan KLBF sendiri diperkirakan mencapai Rp17 triliun. Ini sejalan dengan proyeksi Bloomberg di kisaran Rp17,9 triliun.

Vidjongtius menuturkan, perseroan juga akan makin agresif ikut ambil bagian di pasar obat generik. Selama ini kontribusinya mencapai 15% terhadap total penjualan perseroan. “Secara kontribusi tahun ini obat generik memang masih di kisaran yang sama karena bisnis lain juga tumbuh. Tetapi secara nilai akan jauh meningkat,” ujarnya.

Lantas, bagaimana dengan harga saham?  Untuk yang satu ini, David dan Satrio sepakat menjagokan Kalbe di antara emiten farmasi lainnya. Memang, sepanjang 2014 return saham KLBF berhasil disalip dua perusahaan farmasi pelat merah yaitu PT Indofarma Tbk. dan PT Kimia Farma Tbk. Saham keduanya masing-masing tumbuh 132,08% dan 148%. Sementara itu, saham KLBF tumbuh 46%.

Namun, nama besar Kalbe dianggap menjadi garansi pertumbuhan saham ini. Apalagi perusahaan milik keluarga Boenjamin Setiawan ini memiliki fundamental yang kuat. Sementara itu, Indofarma dan Kimia Farma sendiri tengah menunggu keputusan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentang nasib mereka.

Bisnis mencatat, kinerja saham emiten farmasi sepanjang 2014 memang tidak semuanya membukukan tren positif. Dari sembilan emiten, enam di antaranya justru membukukan kinerja negatif. Kendati demikian, jika dirata-ratakan kinerja saham emiten farmasi masih tumbuh 31,87%.

David sendiri menuturkan, peluang dan tantangan perusahaan farmasi di tahun ini sama-sama besar. Perseroan juga dinilai harus mewaspadai arus kas mereka yang rentan terhambat piutang pihak ketiga.

Tahun Kambing Kayu ini sepertinya akan menjadi tahun pembuktian bagi semua orang. Mampukah Kalbe mengarungi tahun penuh tantangan ini?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper