Bisnis.com, JAKARTA — Kerja sama antara Danantara Indonesia dengan Russia Direct Investment Fund (RDIF) dinilai tidak menjamin realisasi investasi konkret dan justru berisiko merusak reputasi lembaga pengelola investasi negara tersebut.
Danantara Indonesia diketahui baru menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan RDIF untuk membentuk platform investasi bersama senilai €2 miliar atau setara Rp37,7 triliun.
Keduanya sepakat meluncurkan Rusia-Indonesia Investment Platform (RIDNIP), yang berfungsi sebagai platform strategis untuk transfer teknologi bilateral sehingga memungkinkan pertukaran pengetahuan industri antara Indonesia dan Rusia.
Pemerhati BUMN dan Direktur NEXT Indonesia, Herry Gunawan, mengatakan MoU sejatinya bersifat tidak mengikat dan lebih tepat dipahami sebagai isyarat diplomatik.
Dia justru khawatir jika kerja sama berlanjut ke tahap implementasi. Sebab, RDIF tengah terkena sanksi keuangan dari sejumlah negara akibat konflik Rusia-Ukraina.
Kondisi ini lantas menurunkan reputasi RDIF di mata investor internasional.
Baca Juga
“Dampaknya tentu akan menjalar ke Danantara sebagai mitra kerja. Risiko yang muncul bukan hanya reputasi, tetapi juga risiko keuangan,” ujarnya saat dihubungi Bisnis pada Jumat (20/6/2025).
Selain itu, implikasi dari kerja sama tersebut dapat menimbulkan persepsi negatif di pasar, membatasi akses Danantara terhadap mitra atau pendanaan global lainnya, serta menimbulkan pertanyaan terhadap tata kelola internal lembaga tersebut.
Di sisi lain, meski tampak menjanjikan, pengamat menilai banyak komitmen investasi internasional yang akhirnya tidak mewujud menjadi penanaman modal nyata.
Toto Pranoto, Associate Director BUMN Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), mengakui bahwa sejumlah rencana investasi asing berskala besar di Indonesia masih mandek di tahap wacana.
Padahal, beberapa kesepakatan sudah tercapai di tingkat top level tetapi berujung tidak terealisasi di level operasional. Menurut Toto, kondisi ini mencerminkan adanya hambatan struktural dalam proses realisasi investasi di Indonesia.
“Sudah banyak minat investasi besar asing di Indonesia, tetapi masih sebatas wacana. Sudah ada agreement di top level tapi tidak terwujud di level implementasi operasional,” tuturnya kepada Bisnis.
Menurut Toto, sejumlah faktor turut memengaruhi situasi tersebut, mulai dari ketidaksiapan proyek yang akan dikerjakan, ketidakpastian regulasi, hingga lemahnya koordinasi antarinstansi atau lintas sektoral.
“Jadi, kelemahan ini yang harus segera diperbaiki. Investor masuk tentu dengan harapan mendapatkan return yang memadai, bukan menjadikan proyek di sini sebagai aksi filantropi atau charity,” pungkasnya.
---------------------
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.