Sementara itu, Helmy menilai bahwa lonjakan harga minyak global juga membawa dua risiko utama terhadap stabilitas ekonomi domestik, yaitu tekanan fiskal dan potensi pelemahan neraca perdagangan.
Dari sisi fiskal, kenaikan harga minyak menjadi ancaman terhadap postur APBN 2025 yang disusun dengan asumsi harga minyak US$82 per barel. Pasalnya, setiap kenaikan US$1 di atas asumsi akan menambah defisit anggaran sebesar Rp6,9 triliun.
“Dengan tekanan fiskal yang sudah ada saat ini, akan sulit bagi pemerintah untuk menambah subsidi energi apabila harga minyak terus naik,” kata Helmy.
Kendati demikian, harga rata-rata Indonesian Crude Price (ICP) hingga pertengahan tahun 2025 masih tercatat di kisaran US$72 per barel, atau di bawah asumsi. Hal itu memberikan ruang bagi pemerintah untuk mempertahankan kebijakan subsidi saat ini, tetapi dengan catatan tidak terjadi lonjakan tajam dalam waktu dekat.
Terkait dengan neraca perdagangan, Helmy memperkirakan kenaikan harga minyak akan meningkatkan nilai impor yang berpotensi menekan surplus perdagangan ke depan. Risiko geopolitik yang terus berlanjut juga dapat mendorong peningkatan volume impor BBM sebagai langkah antisipasi mengamankan stok.
“Peningkatan tersebut akan semakin menambah nilai total impor dan memberikan tekanan tambahan terhadap neraca perdagangan,” tuturnya.