Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wall Street Menghijau Sepekan Lalu, Bagaimana Proyeksi Pekan Ini?

Bursa saham AS menguat sepanjang pekan lalu. Namun, investor cenderung masih bergerak hati-hati menanti kejelasan arah kebijakan Trump.
Pialang berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, Amerika Serikat. Bloomberg/Michael Nagle
Pialang berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, Amerika Serikat. Bloomberg/Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat menguat sepanjang pekan lalu, dengan indeks S&P ditutup di atas level 6.000 untuk pertama kalinya sejak akhir Februari 2025.

Melansir Reuters, Senin (9/6/2025), indeks S&P menguat 1,5% sepanjang perdagangan 2-6 Juni 2026, sedangkan indeks Dow Jones Industrial Average menguat 1,17% dan Nasdaq melonjak 2,18% dalam sepekan.

Pada perdagangan Jumat, indeks ditutup di zona hijau setelah laporan ketenagakerjaan yang solid meredam kekhawatiran pasar atas kondisi ekonomi. Dow Jones melonjak 1,05% ke 42.762,62, S&P 500 naik 1,03% ke 6.000,32, dan Nasdaq menguat 1,20% ke 19.529,95.

Laporan dari Departemen Tenaga Kerja menunjukkan ekonomi AS menambah 139.000 pekerjaan pada Mei, sedikit di atas ekspektasi 130.000 pekerjaan, meski lebih rendah dari revisi April sebesar 147.000. Tingkat pengangguran tetap di 4,2%, sesuai prediksi.

Pascarilis data tersebut, para pelaku pasar mulai mengurangi spekulasi akan adanya pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve dalam waktu dekat.

Berdasarkan kontrak suku bunga jangka pendek, investor memperkirakan pemangkasan baru akan dilakukan pada September, dengan kemungkinan hanya satu kali penurunan hingga akhir tahun. The Fed dijadwalkan menggelar rapat bulan ini.

“Kami perkirakan The Fed akan menahan suku bunga bulan ini, dan kemungkinan baru melanjutkan siklus pelonggaran jika data pasar tenaga kerja melemah lebih lanjut,” kata Lindsay Rosner, Kepala Investasi Pendapatan Tetap Multi-sektor di Goldman Sachs Asset Management.

Pasar saham AS menunjukkan pemulihan tajam setelah sempat terpuruk pada April, dipicu kekhawatiran atas dampak ekonomi dari rencana tarif Presiden Donald Trump. Indeks S&P 500 menutup pekan ini dengan penguatan signifikan, menembus level 6.000 untuk pertama kalinya sejak akhir Februari. Meski demikian, indeks acuan tersebut masih berada 2,3% di bawah rekor penutupan tertingginya pada Februari lalu.

Chief Investment Officer Plante Moran Financial Advisors Jim Baird mengatakan sentimen pasar masih cenderung berhati-hati.

“Meskipun ada pemulihan dari titik nadir, pasar masih menanti arah yang lebih jelas,” jelasnya.

Gerak Wall Street Pekan Ini

Ketidakpastian sebagian besar berasal dari bagaimana perekonomian AS menghadapi perubahan lanskap perdagangan. Trump memang telah melunakkan sebagian rencana tarif sejak pengumuman dramatisnya pada 2 April lalu—yang disebutnya “Hari Pembebasan” dan sempat memicu aksi jual besar-besaran. Namun, investor masih menunggu efek lanjutan dari kebijakan tersebut terhadap aktivitas ekonomi.

Rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) bulan Mei yang dijadwalkan Rabu pekan ini diperkirakan menjadi indikator penting sejauh mana tarif mulai mendorong tekanan inflasi. Di tengah kekhawatiran akan lonjakan harga, laporan ini bisa memberi sinyal arah kebijakan moneter ke depan.

“Konsumen mulai merasakan dampak kenaikan harga. Jika inflasi jangka pendek tampak kembali menguat, itu bisa menekan daya beli masyarakat dan pada akhirnya memperlambat laju pertumbuhan,” kata Baird.

Data CPI ini menjadi salah satu indikator terakhir sebelum Federal Reserve menggelar rapat kebijakan pada 17–18 Juni mendatang. The Fed diperkirakan akan menahan suku bunga, namun pasar telah memperkirakan hampir dua kali pemangkasan suku bunga masing-masing 25 basis poin hingga akhir tahun.

“Jika data inflasi ternyata lebih jinak dari ekspektasi, ini bisa jadi katalis untuk menguji kembali level tertinggi sebelumnya,” ujar Jay Woods, Chief Global Strategist di Freedom Capital Markets.

Sejauh tahun ini, S&P 500 tercatat naik 2%. Namun sejak titik terendah pada 8 April, indeks ini sudah melesat lebih dari 20%, menghapus sebagian besar kerugian akibat kekhawatiran tarif.

Investor juga mencermati pembahasan RUU pemangkasan pajak dan belanja besar yang tengah digodok di Senat AS. Di satu sisi, kebijakan ini dinilai bisa merangsang pertumbuhan. Namun di sisi lain, lonjakan defisit fiskal yang menyertainya kini menjadi kekhawatiran utama pasar keuangan.

“Semakin besar beban utang, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan makin negatif,” jelas Kristina Hooper, Chief Market Strategist di Man Group.

RUU tersebut juga memicu konflik terbuka antara Trump dan CEO Tesla, Elon Musk. Mantan sekutu Trump itu menyebut RUU andalan sang presiden sebagai “aib yang menjijikkan.” Trump pun mengaku kecewa atas sikap Musk yang berseberangan secara terbuka.

Sementara itu, dinamika dagang tetap menjadi sorotan utama. Masa jeda 90 hari atas berbagai tarif baru Trump akan berakhir pada 8 Juli. Trump menyatakan bahwa tiga menteri kabinetnya dijadwalkan bertemu dengan delegasi China di London pada Senin untuk kembali membahas kesepakatan dagang.

“Kebijakan dari Washington masih menyisakan banyak tanda tanya,” ujar Bob Doll, Chief Investment Officer Crossmark Global Investments.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper