Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Asia tergelincir pada awal pekan, dipicu lemahnya data ekonomi China dan penurunan kontrak saham berjangka Wall Street, di tengah lonjakan imbal hasil obligasi AS setelah penurunan peringkat kredit dari Moody’s.
Melansir Reuters, Senin (19/5/2025), indeks MSCI Asia-Pasifik di luar Jepang terperosok 0,8%, sementara indeks Nikkei Jepang turun 0,7%. Saham unggulan China juga melemah 0,4% setelah data penjualan ritel bulan April jauh di bawah proyeksi, meskipun pelemahan produksi industri tak separah yang dikhawatirkan.
Di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 15,61 poin atau 0,22% ke level 7.122,14 pada akhir sesi I perdagangan hari ini. IHSG bermanuver di rentang 7.085 hingga 7.144.
Pelemahan mayoritas bursa Asia terjadi di tengah meningkatnya ketegangan dagang. Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam wawancara televisi menepis dampak penurunan peringkat Moody’s, namun tetap mengancam negara mitra dagang dengan tarif maksimum jika tak mencapai kesepakatan “dengan itikad baik.”
Kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal AS juga meningkat tajam. Dengan utang nasional mencapai US$36 triliun, rencana pemangkasan pajak besar-besaran yang didorong Partai Republik diperkirakan dapat menambah beban utang hingga US$5 triliun dalam dekade mendatang.
Ekonom JPMorgan, Michael Feroli memperkirakan tarif efektif saat ini sekitar 13% sama dengan kenaikan pajak senilai 1,2% dari PDB. Namun Masih harus dilihat apakah tarif resiprokal 10% akan tetap bertahan, atau akan naik atau turun untuk beberapa negara.
Baca Juga
"Di luar gangguan dari tarif yang lebih tinggi itu sendiri, ketidakpastian kebijakan juga akan membebani pertumbuhan,” jelasnya.
Indeks berjangka S&P 500 dan Nasdaq masing-masing turun 1% dan 1,3% setelah pekan lalu sempat reli pasca keputusan Presiden Donald Trump menurunkan tarif terhadap China. Namun lonjakan imbal hasil obligasi AS berlanjut, dengan yield obligasi 10 tahun naik 7 basis poin ke 4,51%, dan obligasi 30 tahun mendekati 5%.
Ketidakpastian arah kebijakan membuat investor mulai ragu terhadap kekuatan dolar. Indeks dolar terus melemah, bahkan euro menguat tipis ke US$1,1184 dan yen Jepang menguat 0,3% ke level 145,19 per dolar.
Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde menyebut pelemahan dolar sebagai sinyal memudarnya kepercayaan terhadap arah kebijakan AS, yang menjadi sentimen yang dapat memperkuat posisi euro di pasar global.
Di sisi lain, kemenangan mengejutkan kandidat sentris dalam pemilu presiden Rumania atas rival sayap kanan anti-Uni Eropa turut memperkuat sentimen terhadap euro. Tren serupa juga terlihat dalam pemilu di Polandia dan Portugal, di mana kandidat pro-Uni Eropa tampil kuat.
Dengan agenda padat pejabat The Fed pekan ini, termasuk pidato dari Ketua Jerome Powell pada Minggu, investor akan mencermati arah kebijakan moneter selanjutnya. Sementara itu, bank sentral Australia diperkirakan memangkas suku bunga pada pertemuan Selasa esok, meski akan tetap berhati-hati dalam pelonggaran lanjutan.