Bisnis.com, JAKARTA – Wacana pemerintah untuk membebaskan kuota impor dinilai dapat menjadi angin segar bagi sejumlah emiten yang selama ini bergantung pada bahan baku impor, mulai dari restoran mewah hingga produsen daging olahan.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, memandang bahwa kebijakan tersebut berpotensi menekan beban biaya, memperbaiki margin keuntungan, dan membuat kinerja keuangan perusahaan menjadi lebih berkelanjutan.
Menurutnya, emiten-emiten yang bergerak di sektor seperti restoran kelas atas, produk daging olahan impor, hingga perusahaan berbasis perhotelan dan pariwisata berpeluang merasakan manfaat langsung dari kebijakan ini.
“Tujuannya tentu agar beban biaya operasional mereka bisa ditekan, sehingga kinerja margin, khususnya pada bottom line, bisa lebih optimal,” ujar Nafan saat dihubungi, Kamis (10/4/2025).
Dia menuturkan bahwa makanan impor yang digunakan di restoran premium atau hotel merupakan komponen yang selama ini terkena dampak pembatasan impor.
Dengan demikian, jika kuota impor dilonggarkan, emiten tersebut dapat mengakses bahan baku dengan biaya lebih efisien, yang pada akhirnya mendorong profitabilitas.
Baca Juga
Namun, dari sisi teknikal, Nafan menyatakan bahwa emiten-emiten terkait pembebasan kurang likuid dan belum banyak mendapat perhatian dari para analis.
“Rata-rata sahamnya berada pada status not rated. Jadi saya tidak merekomendasikan investasi jangka panjang untuk saat ini,” ungkap Nafan.
Di sisi lain, Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata mengimbau pemerintah untuk tidak mengabaikan dampak jangka panjang dari kebijakan impor yang agresif. Salah satunya adalah risiko kehilangan pangsa pasar bagi industri lokal apabila barang impor memiliki harga lebih murah atau kualitas lebih baik.
“Untuk beberapa industri kompleks, kualitas produk dalam negeri dengan TKDN [Tingkat Komponen Dalam Negeri] tinggi memang masih belum cukup kompetitif. Ini yang membingungkan, di satu sisi pemerintah mendorong penggunaan produk lokal, tapi di sisi lain justru membuka keran impor yang bisa memukul industri,” ujarnya.
TKDN merujuk pada produk yang sebagian besar proses produksinya dilakukan di dalam negeri, termasuk bahan baku, tenaga kerja, hingga nilai tambahnya.
Liza menilai ketidakkonsistenan kebijakan antara dorongan TKDN dan pembukaan impor dikhawatirkan menjadi blunder yang bisa berujung pada penurunan pendapatan pelaku usaha dalam negeri, bahkan potensi gelombang PHK.
Selain itu, peningkatan volume impor juga memberi tekanan langsung terhadap neraca perdagangan dan nilai tukar rupiah. Melemahnya rupiah dapat memperburuk biaya impor ke depan dan memperbesar risiko defisit transaksi berjalan.
“Bisa saja ini merupakan strategi diplomatik merespons kebijakan dagang proteksionis Amerika Serikat, tapi tetap harus disertai upaya penguatan industri domestik dan insentif bagi sektor terdampak,” tandasnya.