Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Anjlok ke Level Terendah Sejak Krisis 1998, Ini Pemicunya

Rupiah melemah menuju ke level terendah sejak krisis 1998, dipicu perang dagang secara global.
Karyawan menghitung uang dolar AS dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (18/3/2025). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawan menghitung uang dolar AS dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (18/3/2025). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah sudah melemah menuju ke level terendah sejak krisis 1998. Analis mengungkap salah satu pemicunya karena perang dagang secara global.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah saat ini berada pada level Rp16.611 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Selasa (25/3/2025).

Rupiah sempat anjlok ke level Rp16.640 per dolar AS pada hari ini, terparah sejak 1998, bahkan melewati titik tertinggi sebelumnya saat Covid-19 pada 23 Maret 2020.

Adapun titik tertinggi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 1998 sempat menyentuh ke level Rp16.800 per dolar AS.

Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menjelaskan rupiah terus-menerus melemah karena kekhawatiran pasar soal perang dagang yang dipicu oleh kebijakan kenaikan tarif Trump.

"Perang dagang ini bisa memicu penurunan perdagangan global sehingga perekonomian global menurun," katanya saat ditanyai Bisnis, Selasa (25/3/2025).

Selain itu, dia mengatakan bahwa konflik perang di Timur Tengah dengan tensi yang masih tinggi, ditambah perang Ukraina dan Rusia yang juga belum bisa didamaikan.

Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa dari dalam negeri, pasar juga sudah pesimis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini menambah tekanan terhadap rupiah.

"Pelemahan rupiah yang cepat tentu bisa menurunkan kepercayaan pelaku pasar terhadap rupiah dan juga terhadap kemampuan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," ujarnya.

Adapun dia menjelaskan apabila pelemahan rupiah bertahan lama, maka akan menambah beban utang pemerintah dan perusahaan yang berutang dalam dolar AS, sehingga memicu risiko gagal bayar apabila tidak dikelola dengan baik.

"Untuk sementara, intervensi [Bank Indonesia] memang diperlukan untuk menurunkan laju pelemahan rupiah," ucapnya.

Dia menegaskan bahwa pemerintah harus memperkuat perekonomian Indonesia, memperbesar ekspor, meningkatkan arus modal asing ke dalam negeri, dan memperkecil impor, sehingga rupiah bisa kembali stabil dan kuat.

Sementara itu, tim analis BRI Danareksa mengatakan bahwa kebijakan moneter The Fed yang mempertahankan suku bunga acuan pada level 4,25% - 4,50% menjadi salah satu faktor pemicu dolar AS menguat. Dolar AS saat ini sudah menguat 0,18% ke level 140,122.

Selain itu, dalam risetnya juga menyatakan bahwa ketidakpastian terkait kebijakan tarif impor Trump juga menjadi pemicunya.

Kemudian, sentimen dari dalam negeri juga turut mempengaruhi pelemahan rupiah, seperti pelemahan daya beli masyarakat, defisit transaksi berjalan negara, dan ketidakstabilan kebijakan ekonomi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Erta Darwati
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper