Bisnis.com, JAKARTA — Semarak penerbitan obligasi korporasi diperkirakan terus berlanjut seiring dengan proyeksi penurunan suku bunga yang lebih rendah. Namun, ketidakpastian di level global sebagai upaya dalam mengantisipasi kebijakan fiskal Donald Trump berpotensi menekan pasar obligasi ke depan.
Sederet perusahaan baik pelat merah maupun swasta pada kuartal IV/2024 tampak cukup aktif menawarkan obligasi. Terbaru, ada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI yang menggelar aksi penawaran umum berkelanjutan dengan menerbitkan obligasi dan sukuk ijarah senilai total Rp2 triliun.
Di sisi lain, perusahaan swasta yang berencana menerbitkan obligasi antara lain PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP), hingga PT Petrosea Tbk. (PTRO).
Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto memandang suku bunga yang lebih rendah akan menjadi kesempatan bagi perusahaan untuk menerbitkan surat utang dengan biaya dana lebih murah.
“Pelonggaran moneter memungkinkan perusahaan untuk memperbaiki leverage mereka dengan memperoleh pendanaan yang lebih murah,” ujar Suhindarto saat dihubungi Bisnis pada Kamis (14/11/2024).
Di samping itu, penurunan suku bunga juga dinilai mampu mendorong perbaikan terhadap prospek permintaan produk perusahaan karena berpeluang meningkatkan daya konsumsi rumah tangga dan investasi bisnis.
Baca Juga
Menurutnya, obligasi korporasi dapat menjadi alternatif untuk mendiversifikasi portofolio investasi terutama bagi investor dengan toleransi risiko yang moderat, tetapi memiliki target return lebih tinggi dari surat utang pemerintah.
Pefindo mencatat surat utang korporasi berperingkat AAA menawarkan premi 39 basis poin (bps) lebih tinggi dari surat utang pemerintah. Premi akan lebih tinggi jika investor bersedia menyerap surat utang dengan peringkat lebih rendah seperti AA, A, serta BBB yang masing-masing sebesar 93 bps, 242 bps, dan 409 bps.
“Secara umum, obligasi korporasi menjadi pilihan jika investor ingin pengembalian lebih tinggi daripada surat utang pemerintah, tapi tidak mau mengambil risiko yang tinggi seperti ketika berinvestasi di saham,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menuturkan bahwa sejauh ini permintaan terhadap obligasi korporasi masih cukup solid. Hal ini tecermin dari total penerbitan obligasi sepanjang tahun berjalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Mandiri Sekuritas mencatat total penerbitan obligasi korporasi hingga November 2024 hampir mencapai Rp112 triliun. Lebih menariknya lagi, sektor dan rating juga semakin beragam dengan permintaan tenor yang lebih panjang menunjukkan peningkatan.
Di sisi lain, Handy menilai tantangan pasar obligasi bakal cenderung dipengaruhi dari sisi global sejalan dengan kemenangan Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat (AS).
Hal itu dikarenakan kebijakan fiskal Trump seperti pemangkasan pajak dan kenaikan tarif impor barang dan jasa dari luar diperkirakan berdampak terhadap kenaikan inflasi serta perlambatan suku bunga Fed Fund Rate.
“Ini yang menjelaskan terjadinya kenaikan signifikan imbal hasil US Treasury dan DXY, meskipun The Fed sudah memotong suku bunga 75 bps. Faktor itu mendorong capital outflow di pasar obligasi pasar berkembang, termasuk Indonesia,” ucapnya.
Dari dalam negeri, katalis positif datang dari korelasi imbal hasil US Treasury dan yield obligasi pemerintah Indonesia yang menurun, adanya ruang penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI), dan fiskal pemerintah yang dianggap masih cukup prudent dengan fleksibilitas pembiayaan tidak tergantung dari utang.
“Dukungan investor domestik ke pasar obligasi juga semakin beragam. Tidak hanya dari investor institusi tetapi juga dari ritel, bahkan tahun ini ritel adalah pembeli terbesar pasar obligasi pemerintah,” kata Handy.
________
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.