Bisnis.com, JAKARTA — Aksi demo Peringatan Darurat Indonesia untuk menolak RUU Pilkada disahkan dalam Rapat Paripurna DPR membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meninggalkan level all time high (ATH) dan tergelincir 0,87% ke level 7.488,67, Kamis (22/8/2024).
Sehari sebelumnya, Rabu (21/8/2024), saat poster berwarna biru bertuliskan Peringatan Darurat bertebaran di media sosial, IHSG mampu ditutup menguat 0,27% ke level 7.554,59 atau kembali ditutup pada level all time high (ATH) dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp12.817,74 triliun.
Peringatan Darurat Indonesia itu menyebar cepat setelah Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR, pada Rabu (21/8/2024), menyelesaikan pembahasan perubahan keempat UU No.6 /2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Revisi UU Pilkada yang sudah dibahas sejak 2023 itu, secara mendadak, merumuskan dalam waktu singkat soal ambang batas sebesar 6,5%—10% suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD.
Panja Baleg juga merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Kedua poin krusial itu disepakati setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi UU Pilkada tentang syarat pencalonan kepala daerah.
Baca Juga : KPU Siapkan Draft Revisi PKPU Sesuai Putusan MK |
---|
Padahal, dalam putusannya, MK menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, dari semula minimal 20% partai politik pemilik kursi di DPRD menjadi 6,5%—10% serta syarat pencalon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon.
Dengan demikian, DPR tanpa malu-malu menganulir dua putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini. Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mempertegas syarat batas usia pencalonan kepala daerah harus terpenuhi pada saat pendaftaran.
Bukan kali ini saja penyimpangan kekuasaan dalam proses legislasi terjadi. Beberapa regulasi krusial yang mulus dikebut dalam waktu singkat seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, UU IKN yang terkesan mengkerdilkan masukan publik.
RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sendiri akhirnya batal disahkan dalam Rapat Paripurna ke-3 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (22/8/2024), setelah jumlah anggota parlemen di Senayan yang hadir tidak memenuhi batasan minimal atau kuorum.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, yang juga Ketua Harian DPP Partai Gerindra sejak 2020, menyatakan sesuai tata tertib sidang DPR, maka pengesahan RUU Pilkada tidak dapat diteruskan alias batal ditetapkan karena tidak memenuhi kuorum.
Keputusan untuk menunda pengesahan RUU Pilkada itu disepakati oleh tiga Wakil Ketua DPR dalam Rapat Paripurna ke-3, yaitu Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk Paulus, dan Rachmat Gobel.
“Kalau mengikuti aturan tata tertib DPR yang berlaku, maka kesempatan untuk mengesahkan RUU Pilkada ini dalam Paripurna, paling dekat pada Selasa 27 Agustus, yang kita tahu sama-sama juga sudah memasuki masa pendaftaran. Jadi pendaftaran calon kepala daerah [untuk pilkada] pada 27 Agustus 2024 bakal menerapkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi judicial review yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora,” ujarnya dalam jumpa pers, Kamis (22/8/2024) malam.
Ringkasan Putusan MK yang Membuka Peluang Parpol Tanpa Kursi di DPRD Ajukan Calon Kepala Daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Putusan perkara yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ini dibacakan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Ketua MK Suhartoyo yang membacakan Amar Putusan tersebut menyampaikan Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian. Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.
“Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo.
Sementara, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada merupakan norma yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan Pasal 39 huruf a UU 8/2015 yang menyatakan, "Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik". Dalam konteks ini, norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dapat dikatakan sebagai desain pengaturan ambang batas (threshold) untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dengan model alternatif. Pertama, apakah dapat memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD. Atau, kedua, apakah dapat memenuhi 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
“Kedua pilihan threshold pencalonan kepala daerah tersebut ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menentukan pilihan mana yang dapat dipenuhi,” ujar Enny.
Berkenaan dengan alternatif pertama, Enny melanjutkan, ditentukan lebih lanjut persyaratannya dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada yang pada pokoknya hanya untuk memberikan kepastian terkait dengan cara penghitungan pecahan persentase dari jumlah kursi DPRD paling sedikit 20%. Apabila ternyata hasil bagi jumlah kursi DPRD tersebut menghasilkan angka pecahan, maka untuk kepastian perolehan jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.
Sementara itu, lanjut Enny, terhadap norma Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada juga menjelaskan lebih lanjut alternatif pencalonan kepala daerah apabila akan digunakan 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, namun tidak menegaskan apabila ternyata hasil bagi suara sah tersebut menghasilkan angka pecahan sebagaimana pola yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada. Dalam kaitan ini, norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 justru memberikan ketentuan tambahan yaitu, akumulasi perolehan suara sah tersebut “hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD” sebagaimana dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon karena tidak sejalan dengan maksud kepala daerah dipilih secara demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
“Artinya, baik menggunakan alternatif pertama atau kedua dipersyaratkan oleh Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 harus sama-sama mempunyai kursi di DPRD. Ketentuan ini merugikan hak partai politik yang telah ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu serentak nasional 2024 yang telah memiliki suara sah, namun tidak memiliki kursi di DPRD, karena tidak dapat mengusulkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” jelas Enny.
Jamin Hak Konstitusional Parpol
Dikatakan Enny, bertolak pada pertimbangan hukum di atas apabila dikaitkan dengan permohonan pengujian Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, menurut Mahkamah kata “atau” dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada pada prinsipnya membuka peluang bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara sah, in casu suara 25%. Namun, karena berlakunya norma Pasal 43 ayat (3) UU Pilkada, maka peluang bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD menjadi hilang atau tertutup.
Sebab, lanjut Enny, pasal tersebut telah menegasikan norma yang telah memberikan alternatif, in casu Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016. Batasan 25% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 adalah akumulasi perolehan suara karena partai politik tetap diakui keabsahannya dan diakui eksistensinya sebagai partai politik menurut Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, sampai Pemilu berikutnya sesuai dengan threshold dan persyaratan yang akan ditentukan ke depan oleh pembentuk undang-undang.
“Dengan telah dinyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, oleh karena keberadaan Pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 a quo, sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon,” tegas Enny.
Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.
“Dalam konteks demikian, dengan telah dibukanya peluang bagi perseorangan untuk mencalonkan diri dengan syarat-syarat tertentu, maka pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara sah partai politik gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas jika syarat pengusulan pasangan calon dimaksud lebih besar daripada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan Pasal 41 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU 10/2016,” ucap Enny.
Oleh karena itu, lanjut Enny, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.
Terhadap putusan Mahkamah a quo, terdapat alasan berbeda dari Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengajukan alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
“Yang pada pokoknya yang concurring berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah memutus perkara a quo dengan konstitusional bersyarat sementara yang dissenting terhadap norma yang dilakukan pengujian telah konstitusional dan seharusnya Mahkamah menolak permohonan para Pemohon,” ujar Suhartoyo.
Pergerakan Saham Emiten Prabowo-Gibran Saat RUU Pilkada Batal Disahkan DPR
Sederet saham emiten-emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) diketahui dekat dengan koalisi pasangan Prabowo-Gibran, seperti misalnya saham PT Panca Mitra Multiperdana Tbk. (PMMP) yang terafiliasi Kaesang Pangarep tercatat tergelincir 1,85% pada penutupan perdagangan Kamis (22/8/2024) ke level Rp212 dengan kapitalisasi pasar Rp548,72 miliar.
Sepanjang tahun ini atau year to date (ytd), saham PMMP sudah melorot 19,08%.
PMMP merupakan emiten terafiliasi Kaesang Pangarep melalui PT Harapan Bangsa Kita atau GK Hebat. Adapun GK Hebat merupakan platform akselerator UMKM yang didirikan oleh anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini pada 2019 silam.
Selanjutnya, keluarga Prabowo tercatat ikut berpartisipasi dalam emiten teknologi PT WIR ASIA Tbk. (WIRG). Saat ini perusahaan tersebut dipimpin oleh Aryo PS Djojohadikusumo. Aryo merupakan putra kandung Hashim Djojohadikusumo, yang merupakan kakak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Saham WIRG, kemarin, terpantau melemah 1,23% ke posisi Rp80 sehingga kapitalisasi pasarnya menjadi Rp955,09 miliar.
Tak ketinggalan, Partai Golkar telah menyatakan dukungannya terhadap pasangan Prabowo-Gibran. Aburizal Bakrie, generasi kedua konglomerasi Grup Bakrie, pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Oktober 2009-Desember 2014.
Grup Bakrie memiliki sejumlah emiten yang tercatat di BEI dari berbagai lini bisnis, muai dari pertambangan, media massa, perkebunan, hingga yang terbaru kendaraan listrik melalui VKTR.
Pada penutupan perdagangan Kamis (22/8/2024), saham emiten Grup Bakrie seperti DEWA turun 4,35% ke level Rp66, saham ENRG turun 6,48% ke posisi Rp202, saham BNBR stagnan Rp28, saham BRMS turun 3,11% ke level Rp156, dan saham BUMI turun 3,19% ke level Rp91.
Lebih lanjut, saham VIVA, BTEL, ELTY, JGLE dan MDIA , kompak stagnan masing-masing di level Rp6, Rp50, Rp8, Rp8, Rp10.
Adapun, saham UNSP tercatat turun 2,38% ke level Rp82 , sedangkan saham emiten pendatang baru VKTR turun 0,71% ke level Rp139.
Masih dari petinggi Golkar, pada 28 Juni 2023, Agung Laksono menjadi komisaris PT Cakra Buana Resources Energi Tbk. Emiten dengan kode saham CBRE ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa angkutan moda laut dalam negeri dan luar negeri. Tercatat, kemarin, sahamnya stagnan di level Rp20 dengan kapitalisasi pasar Rp90,76 miliar.
Sementara itu, emiten PT Menthobi Karyatama Raya Tbk. (MKTR) juga masuk di lingkaran Partai Berlambang Phon Beringin.
MKTR merupakan emiten Grup Maktour milik pengusaha Fuad Hasan Masyhur, yang juga menjadi mertua Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo. Dito merupakan salah satu kader muda di Partai Golkar.
MKTR memiliki berbagai lini bisnis yakni perdagangan CPO, manajemen truk dan tangki CPO, perkebunan kelapa sawit, hingga pengelolaan limbah. Pada penutupan perdagangan Kamis (23/8/2024), saham MKTR stagnan di posisi Rp120 dengan kapitalisasi pasar Rp1,45 triliun.
Selanjutnya, PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) juga merupakan emiten terafiliasi dengan kader senior Partai Golkar, yakni Luhut Binsar Pandjaitan. TOBA telah bertransformasi dari perusahaan batu bara, kemudian masuk ke bisnis energi baru terbarukan (EBT). Bahkan, bersama Grup PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO), TOBA mengembangkan bisnis motor listrik Electrum, yang dinakhodai Pandu Sjahrir.
Pada penutupan perdagangan Kamis (22/8/2024), saham TOBA terpantau turun 1,02% ke level Rp390 dengan kapitalisasi pasar Rp3,19 triliun.
----------
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.