Bisnis.com, JAKARTA — Saham emiten dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia, yakni PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN), berbalik menukik tajam hingga terkena auto rejection bawah (ARB) selama 2 hari beruntun. Inikah akhir dari reli panjang emiten milik Prajogo Pangestu tersebut?
Saham BREN, Kamis (30/5/2024) turun 9,88% atau terkena ARB dan parkir di level Rp9.125. Penurunan tersebut terjadi hanya dari 393 kali transaksi di pasar dengan nilai perdagangan hanya Rp3,09 miliar.
Penurunan ini melanjutkan kinerja sehari sebelumnya, yang juga anjlok terkena ARB hingga -10%. Aktivitas transaksi saham BREN kemarin pun tidak jauh berbeda, hanya 442 kali transaksi dengan nilai Rp33,1 miliar.
Ini memang bukanlah pelemahan pertama yang terjadi di saham BREN dalam sebulan terakhir. Namun, pelemahan tajam hingga ke level ARB ini jelas menjadi sinyal tanda bahaya yang patut diwaspadai investor BREN jika tak ingin sahamnya ‘nyangkut’.
Artikel tentang kinerja BREN menjadi salah satu berita pilihan BisnisIndonesia.id hari ini, Jumat (31/5/2024). Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id. Berikut ulasannya:
Baca Juga
Kala Pengembang Properti Dukung Iuran Tapera di Tengah Riuh Penolakan
Dalam beberapa hari terakhir, iuran Tabungan Perumahan Rakyat menjadi pembicaraan hangat. Hal ini usai Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Regulasi ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Seluruh pekerja atau karyawan dengan penghasilan di atas upah minimum wajib terdaftar sebagai peserta Tapera dan menyisihkan penghasilan guna membantu masyarakat berpenghasilan rendah dalam memiliki rumah.
Adapun besaran simpanan peserta yakni sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk pekerja mandiri. Besaran simpanan untuk peserta pekerja swasta tersebut ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%.
Ketentuan Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Regulasi ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Menimbang Perpanjangan Relaksasi Harga Gula
Relaksasi harga penjualan gula di ritel modern akan berakhir Jumat (31/5/2024). Badan Pangan Nasional (Bapanas) mempertimbangkan usulan peritel agar kebijakan itu diperpanjang.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, penyesuaian Harga Pokok Penjualan (HPP), Harga Acuan Penjualan (HAP) maupun Harga Eceran Tertinggi (HET) membutuhkan pertimbangan berbagai faktor, mulai dari faktor biaya produk di petani, daya beli masyarakat, hingga angka inflasi.
Dia memastikan bahwa pihaknya akan terus mengkaji untuk harga gula yang wajar bagi petani di hulu, serta harga di pedagang dan konsumen di hilir.
Menurutnya, relaksasi harga acuan penjualan gula yang telah dilakukan sejak awal April 2024 dapat menjaga harga di petani tidak anjlok saat panen raya. Dengan begitu, nilai tukar petani (NTP) tetap terjaga di atas 100.
Menerka Arah Saham BREN yang Berbalik ARB
Anjloknya saham BREN selama 2 hari ini tampaknya tidak terlepas dari faktor suspensi pada awal pekan ini dan keputusan BEI untuk memasukkannya ke Papan Pemantauan Khusus (PPK) dengan mekanisme full call auction (FCA).
Sejalan dengan lesunya saham BREN, IHSG pun bahkan sempat anjlok hingga ke bawah level 7.000 hari ini, tepatnya 6.984,98 pada sesi pertama, sebelum bangkit kembali dan ditutup di level 7.034,14. Meski bukan satu-satunya penyebab pelemahan IHSG, anjloknya BREN memang punya dampak signifikan pada IHSG.
Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project, William Hartanto, mengatakan bahwa anjloknya saham BREN adalah reaksi jual sebagai respons negatif dari pasar atas kabar tersebut. William menyebut aksi investor saat ini hanya akan terjadi dalam jangka pendek saja.
“Bukan karena BREN sebulan FCA lalu sebulan ARB terus. Sesekali pasti bisa rebound, dan ini hanya aksi jual sebagai respon negatif pasar saja,” kata William saat dihubungi, Rabu (29/5/2024).
Peluang Keluar dari Defisit Dagang Akut
Pemerintah memiliki peluang membalik neraca pembayaran yang pada kuartal I/2024 defisit menjadi surplus, sejalan dengan munculnya beberapa sentimen yang bisa menopang kinerja ekspor dan masuknya aliran modal.
Peluang itu muncul dari adanya perkembangan positif dari perjanjian kemitraan dagang dan investasi yakni Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) bersama 5 negara mitra, kemudian Indo-Pasifik Economic Framework (IPEF) yang siap diimplementasikan dalam waktu dekat, serta Indonesia Europa Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) yang membuka peluang perluasan dagang.
Khusus untuk RCEP dan IEU CEPA, Indonesia berpeluang mengambil peran di tengah konflik dagang antara Uni Eropa dan China. Untuk IPEF, masuknya Amerika Serikat dalam keanggotaan tersebut membuka asa Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspor di tengah panasnya hubungan Negeri Paman Sam dan China baru-baru ini.
Momentum Bersih-Bersih Tambang Timah
Masa depan industri timah di Tanah Air sejatinya masih sangat prospektif, sejalan dengan perkembangan industri manufakturnya yang juga terus bertumbuh. Namun, sejumlah persoalan terutama yang menyangkut tambang ilegal hingga masalah hukum yang membelit industri tersebut juga tidak bisa dikesampingkan.
Terlebih, praktik pertambangan ilegal disebut-sebut telah memunculkan sentimen negatif bagi para pelaku usaha yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya operasi pertambangan ilegal, berpotensi menghadirkan pasokan timah yang tidak sesuai dengan standar perusahaan, padahal banyak perusahaan manufaktur dunia kini hanya menerima suplai timah yang diperoleh dari praktik pertambangan yang baik dan benar.
Seturut dengan itu, impak dari buruknya tata kelola dan tata niaga timah di Tanah Air, khususnya di Bangka Belitung (Babel)—sebagai daerah penghasil timah terbesar di Indonesia—yang berujung pada persoalan hukum menambah catatan kelam tambang timah nasional.
Pemerintah sebenarnya juga tidak menutup mata dengan makin maraknya kegiatan tambang ilegal, meskipun aturan yang ada sekarang hanya Undang-Undang No. 3/2020 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.