Bisnis.com, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini setelah libur Lebaran 2024 berisiko ambrol hingga menyentuh level Rp16.000 per dolar AS.
Berdasarkan data Google Finance, rupiah terus melemah level Rp16.009 per dolar AS kemarin, Senin (15/4/2024). Rupiah mulai menyentuh level Rp16.000 pada perdagangan Rabu (10/4/2024).
Adapun, jika ditarik mundur mengacu data Google Finance, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat menembus Rp16.000 pada 3 April 2020. Kala itu nilai tukar mata uang Indonesia menembus Rp16.300 per dolar AS.
Data Google Finance tersebut memang menunjukan pergerakan rupiah secara internasional. Sebab, perdagangan domestik pada momen libur Lebaran 2024.
Mengacu data Bloomberg pada perdagangan terakhir jelang libur lebaran, yakni Jumat pekan lalu (5/4/2024), rupiah ditutup menguat 44 poin atau 0,28% ke Rp15.848.
Sementara itu, rupiah tetap dalam tren lesu sejak awal tahun ini. Tercatat, pada perdagangan awal tahun, per 2 Januari 2024 rupiah masih di level Rp15.390.
Baca Juga
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan tren lesunya rupiah akan berdampak ke bisnis perbankan di Indonesia.
Melemahnya rupiah akan membuat biaya barang semakin mahal dan akan mendorong inflasi serta dapat berdampak pada kebijakan bank sentral untuk menaikkan suku bunga.
"Bagi bank tentu yang utama adalah ancaman peningkatan NPL [nonperforming loan/NPL] yang dapat menggerus laba bank," katanya kepada Bisnis pada Senin (15/4/2024).
Sebelumnya, Senior Faculty LPPI Amin Nurdin juga mengatakan lesunya rupiah mampu menyengat bank-bank yang punya kepentingan atau portofolio bisnis luar negeri yang banyak.
"Bank-bank yang terkait aktivitas treasury, trade financing, aktivitas international banking, portofolionya di valuta asing besar, ini rawan terdampak," tuturnya.
Menurutnya, rata-rata bank yang mempunyai portofolio bisnis luar negeri besar adalah bank-bank jumbo.
Meski begitu, bank-bank lainnya bisa saja terdampak. Pelemahan ini bisa menyengat sektor riil yang lekat dengan depresiasi nilai tukar rupiah.
"In the long run akan hit juga ke sektor keuangan, karena ekonomi kita itu 70% sangat tergantung ke industri jasa keuangan khususnya perbankan. Jadi bisa berdampak juga ke bank," ujarnya.
Dia mencontohkan debitur dari sektor riil yang aktif menjalankan bisnis impor, akan sulit membayar kredit perbankan saat rupiah melemah. Hal ini memengaruhi pula kondisi rasio kredit bermasalah alias NPL perbankan.