Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dibuka melemah ke level Rp15.887 pada perdagangan hari ini, Kamis (28/3/2024). Rupiah melemah di tengah penguatan dolar AS.
Mengutip data Bloomberg pukul 09.00 WIB, rupiah dibuka melemah 0,19% ke Rp15.887,5 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS menguat 0,04 persen ke 105,38.
Bersamaan dengan rupiah, dolar Hong Kong turun 0,01%, dolar Singapura turun 0,01%, peso Filipina turun 0,05%, rupee India turun 0,11%. Lalu ringgit Malaysia turun 0,30%, dan baht Thailand turun 0,11%.
Sementara itu, yen Jepang menguat 0,01%, won Korea Selatan menguat 0,09%, dan yuan China menguat 0,01%.
Sebelumnya, Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan rupiah hari ini akan bergerak fluktuatif, tetapi ditutup melemah di rentang Rp15.840-Rp15.900 per dolar AS.
Dari eksternal, menurut Ibrahim sentimen datang dari sebagian besar trader yang tetap bias terhadap dolar AS setelah sinyal dovish dari Swiss National Bank dan Bank of England mematok greenback sebagai satu-satunya mata uang dengan imbal hasil tinggi dan risiko rendah.
Baca Juga
Antisipasi terhadap data indeks harga PCE utama yang merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed dan komentar dari pejabat tinggi The Fed akhir pekan ini juga mendorong aliran dana ke dollar, terutama karena para pedagang menunggu lebih banyak isyarat mengenai penurunan suku bunga AS.
Selain itu, komentar dari anggota dewan BOJ Naoki Tamura, yang mengatakan bahwa bank sentral harus melanjutkan kebijakan ultra-longgar secara perlahan dan terus-menerus dalam beberapa bulan mendatang. Komentarnya memperkuat dugaan bahwa BOJ akan tetap bersikap dovish dalam waktu dekat.
Dari dalam negeri, Ibrahim melihat sentimen datang dari pemerintahan baru yang akan dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Ekonom memandang pemerintahan mendatang perlu untuk meramu sejumlah strategi dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6%-7%.
Untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 6%-7%, tidak cukup jika pemerintahan mendatang hanya melanjutkan program pemerintah saat ini.
"Banyak pekerjaan rumah di bidang ekonomi yang justru perlu perbaikan. Pasalnya, selama pemerintahan era Jokowi, pertumbuhan ekonomi stagnan pada level 5%, bahkan dengan kecenderungan menurun," tutur Ibrahim.