Bisnis.com, JAKARTA - Realisasi investasi RI yang menyangkut komoditas pangan bergizi terbilang mini, terutama sektor perikanan. Mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah dalam rangka mengawal tumbuh kembang anak bangsa.
Research Associate Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Asmiati Malik menggambarkan tren tersebut berdasarkan data realisasi investasi RI sejak 2019 yang bisa dilihat di laman National Single Window for Investment Badan Koordinasi Penanaman Modal (NSWI BKPM).
"Realisasi investasi masih sangat terkonsentrasi pada sektor-sektor yang justru tidak punya direct impact terhadap kebutuhan primer masyarakat," ujarnya dalam diskusi virtual Ekonom Perempuan INDEF, Kamis (28/12/2023).
Secara umum, berdasarkan data perkembangan realisasi investasi hingga kuartal III/2023 di laman nswi.bkpm.go.id, penanaman modal asing (PMA) di sektor primer menyumbang US$5,22 miliar dengan 2.550 proyek dari total PMA US$37,8 miliar.
Sementara itu, sektor sekunder justru mampu mencapai US$20,97 miliar dengan 13.023 proyek, disusul sektor tersier yang mencapai US$11,61 miliar dengan 46.598 proyek. Membedah PMA terkhusus sektor primer, perikanan mengambil porsi paling mini dengan investasi hanya US$21,3 juta di 315 proyek.
Adapun, sektor tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan investasinya US$1,63 miliar dengan 1.199 proyek. Nilai di kedua sektor itu terbilang mini apabila dibandingkan dengan sektor pertambangan yang masih mendominasi investasi PMA sektor primer, dengan nilai investasi mencapai US$3,48 miliar dengan 877 proyek.
Baca Juga
"Tantangan investasi kita adalah terlalu bertumpu pada pertambangan. Sementara sektor-sektor seperti agrikultur, kehutanan, dan perikanan itu masih sangat kurang," tambah Asmiati.
Hal serupa tergambar dari realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) per kuartal III/2023, di mana sektor perikanan hanya Rp2,11 miliar dengan 2.842 proyek dari total PMDN sektor primer senilai Rp114,66 triliun. Sektor pertambangan tetap jadi juara.
PMDN sepanjang 2023 sendiri totalnya mencapai Rp493,53 triliun. Namun, PMDN ditopang sektor tersier yang nilainya Rp255,3 triliun, disusul sektor sekunder Rp123,57 triliun. Bahkan, dilihat dari sisi peringkat investasi, sektor perikanan saat ini menempati peringkat terbawah untuk PMA. Sementara untuk PMDN, sektor perikanan menempati dua terbawah, tepatnya hanya di atas industri barang dari kulit dan alas kaki.
"Jadi PMDN pun sama, [porsi] pertambangan masih sangat heavy. Padahal, perikanan adalah sektor utama yang menyediakan protein bagi masyarakat. Maka tidak heran kalau mayoritas masyarakat Indonesia tidak familiar makan ikan," ungkapnya.
Sebagai perbandingan, investasi PMA teratas ditopang industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya senilai US$8,67 miliar dari sektor sekunder, disusul sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi senilai US$4,23 miliar dari sektor tersier.
Adapun, untuk PMDN, pertambangan menjadi yang tertinggi dengan investasi Rp61,63 triliun. Disusul dua industri yang berada di sektor tersier, yaitu transportasi, gudang, dan telekomunikasi senilai Rp57,25 triliun, kemudian sektor perumahan, kawasan industri, dan perkantoran senilai Rp54,51 triliun.
Porsi realisasi sepanjang 2023 itu tampak tak jauh berbeda dengan tren sejak lima tahun sebelumnya. PMA untuk sektor perikanan bahkan nilainya belum kembali pulih sebesar era 2019. Hanya saja, PMDN sektor perikanan memang tercatat terus bertumbuh secara bertahap.Oleh sebab itu, membenahi prioritas investasi jangka panjang yang mampu meningkatkan daya saing Indonesia masih perlu jadi perhatian para pemangku kepentingan.
Terlebih, berkaitan komoditas pangan yang menopang gizi untuk tumbuh kembang anak bangsa, di mana notabene merupakan tonggak sumber daya manusia (SDM) masa depan. Upaya penghiliran komoditas perikanan yang telah menjadi salah satu target pemerintah pun merupakan keniscayaan, dan sudah sepatutnya menjadi fokus akselerasi.
"Investasi sektor primer, harusnya diperbesar karena menopang sektor-sektor terkait kebutuhan dasar. Kalau lebih condong pada sektor sekunder dan tersier, maka dampak terhadap kenaikan living cost akan jauh lebih besar kalau terjadi gejolak, terutama pada kelas menengah ke bawah," jelasnya.