Bisnis.com, JAKARTA – Harga Bitcoin mendekati US$38.000, sebuah level psikologis yang terakhir dicapai pada Mei 2022. Harga kripto terbesar ini reli akibat ekspektasi permintaan baru terhadap exchange-traded funds (ETF) BTC yang diperdagangkan di Bursa Amerika Serikat (AS).
Mengutip Bloomberg, Kamis (16/11/2023), harga Bitcoin sempat menguat sekitar 6% dalam 24 jam terakhir dan diperdagangkan pada US$37.843 pukul 08:53 waktu Singapura. Hal ini memperpanjang rebound year-to-date dari penurunan pada tahun 2022 menjadi 129%.
Sejumlah mata uang kripto yang lebih kecil, seperti Ethereum, juga terdongkrak lebih tinggi.
Sementara itu, Komisi Sekuritas dan Bursa AS pada Rabu (15/11/2023) kembali menunda keputusan apakah akan menyetujui investasi ETF AS pertama secara langsung di Bitcoin.
Bloomberg Intelligence memprediksi lampu hijau dari otoritas AS untuk peluncuran produk ETF tersebut pada Januari 2024. ETF dinilai akan memudahkan institusi dan investor besar mendapatkan eksposur terhadap Bitcoin.
Adapun taruhan bahwa Bank Sentral AS Federal Reserve akan melakukan kenaikan suku bunga juga telah mengangkat harga kripto, yang sensitif terhadap perubahan tingkat likuiditas di pasar keuangan.
Baca Juga
“Pemulihan dalam valuasi kripto dapat berlanjut jika suku bunga riil mencapai puncaknya dan kami terus melihat kemajuan menuju persetujuan ETF di pasar AS," Zach Pandl, direktur pelaksana penelitian di kripto Grayscale Investments LLC.
Lebih lanjut, salah satu teka-teki bagi investor saat ini adalah bagaimana kenaikan Bitcoin tahun ini sudah mengurangi kemungkinan dampak ETF spot.
“Persetujuan tersebut mungkin dimasukkan ke dalam harga, tetapi pertanyaannya adalah seberapa besar arus masuk ETF akan menarik pasar,” kata Sui Chung, CEO CF Benchmarks, kepada Bloomberg Television.
Menurutnya, manfaat diversifikasi investasi mendorong perbincangan mengenai investasi Bitcoin mengingat kurangnya korelasi kripto dengan aset seperti saham dalam jangka waktu yang lebih lama.
Secara terpisah, Trader Tokocrypto Fyqieh Fachrur menilai meskipun ada hambatan makro, harga Bitcoin diprediksi akan terus melonjak lebih tinggi.Terlebih, data inflasi dan penjualan ritel AS yang dirilis minggu ini sangat mendukung narasi bahwa siklus pengetatan The Fed telah berakhir dan siklus penurunan suku bunga akan segera terjadi.
Indeks harga konsumen (CPI) AS hanya 3,2% year-on-year (YoY) pada Oktober 2023, turun dari 3,7% pada September 2023.
Sementara itu, indeks harga produsen (PPI) untuk bulan Oktober hanya 1,3% (YoY), turun dari 2,2% pada bulan sebelumnya dan jauh di bawah perkiraan 1,9%. PPI Inti turun ke
tingkat tahunan sebesar 2,4% dari 2,7%.
"Mendinginnya inflasi dapat mendukung Bitcoin dalam jangka pendek karena beberapa pelaku pasar mungkin bersedia mengambil lebih banyak risiko. Ketika inflasi turun, mata uang tradisional cenderung lebih stabil nilainya, yang dapat mengurangi daya tarik investasi dalam aset-aset seperti obligasi dan tabungan,” kata Fyqieh dalam risetnya, Kamis (16/11/2023).
Dalam situasi ini, lanjutnya, beberapa investor mungkin mencari alternatif yang lebih potensial untuk pertumbuhan modal, dan Bitcoin dapat menjadi salah satu pilihan mereka.
Selain itu, kata Fyqieh, dengan adanya ketidakpastian ekonomi yang sering terkait dengan inflasi yang tinggi, beberapa pelaku pasar mungkin melihat Bitcoin sebagai bentuk perlindungan terhadap potensi depresiasi mata uang tradisional.
Bitcoin dikenal karena sifatnya yang terdesentralisasi dan terbatas dalam pasokan, sehingga dianggap sebagai alat lindung nilai potensial terhadap fluktuasi nilai mata uang fiat.