Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Rebound Tembus U$81, Perang Israel-Hamas jadi Pemicu

Harga minyak meningkat kembali karena pasar masih dibayangi ketidakpastian pasokan akibat perang Israel-Hamas yang meluas.
Hafiyyan,M. Taufikul Basari
Hafiyyan & M. Taufikul Basari - Bisnis.com
Senin, 6 November 2023 | 12:35
Harga minyak meningkat kembali karena pasar masih dibayangi ketidakpastian pasokan akibat perang Israel-Hamas yang meluas. /Bloomberg
Harga minyak meningkat kembali karena pasar masih dibayangi ketidakpastian pasokan akibat perang Israel-Hamas yang meluas. /Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak meningkat kembali setelah anjlok pekan lalu karena pasar masih dibayangi ketidakpastian pasokan akibat perang Israel-Hamas yang meluas.

Pada perdagangan Senin (6/11/2023) pukul 12.10 WIB, harga minyak WTI kontrak Desember 2023 naik 0,63% atau 0,51 poin menjadi US$81,02 per barel. Harga minyak Brent kontrak Januari 2024 naik 0,49% atau 0,42 poin ke US$85,31 per barel.

Sebelumnya pengaruh perang Hamas vs Israel-Hamas ke pasar minyak dunia tampak mereda dan kini fokus kembali ke risiko permintaan yang lemah, membawa harga komoditas energi paling berpengaruh ini turun dalam dua pekan terakhir.

Harga minyak mentah sebagian besar telah melepaskan premi perangnya karena konflik tersebut tidak membahayakan pasokan dari Timur Tengah, yang merupakan sumber dari sepertiga minyak dunia. Hal ini membawa sentimen pasar kembali ke kekhawatiran soal permintaan.

Apalagi, aktivitas pabrik di China, selaku negara pengimpor terbesar, kembali mengalami kontraksi pada Oktober 2023. Sementara itu, permintaan bahan bakar di Amerika Serikat (AS) tetap rendah dan stok minyak mentah meningkat.

Ada pula tanda-tanda permintaan diesel yang di beberapa negara Eropa pada September 2023 yang mengalami penurunan seperti di Spanyol, Inggris, Italia, dan Perancis.

Pada perdagangan Jumat pekan lalu harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember turun 2,4% hingga mencapai US$80,51 per barel di New York. Sementara minyak jenis Brent untuk penyelesaian bulan Januari turun 2,3% hingga mencapai US$84,89 per barel.

Penurunan harga terjadi di tengah eskalasi konflik Hamas-Israel yang masih terus meningkat. Bahkan, Israel menuturkan bahwa pasukannya mengepung Kota Gaza dan gencatan senjata tidak mungkin dilakukan.

Namun, masih ada risiko bahwa konflik dapat menyebar dan mempengaruhi pasar minyak. Pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman telah meluncurkan roket dan drone ke Israel. Militer Arab Saudi juga diketahui bentrok dengan kelompok militan tersebut.

“Fakta bahwa invasi darat Israel ke Gaza dimulai tanpa memperluas perang Israel-Hamas telah memberikan harapan bahwa gangguan terhadap pasokan dan perdagangan minyak dapat dihindari,” jelas analis di Commonwealth Bank of Australia, Vivek Dhar, dilansir Bloomberg.

Namun, menurutnya, keterlibatan langsung Iran dalam perang Israel-Hamas pada awalnya akan membuat harga minyak Brent berjangka menjadi US$100 per barel.

Penurunan harga secara tajam pada Jumat lalu terjadi setelah pemimpin kelompok militan yang didukung Iran, Hezbollah, mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang serangan pada 7 Oktober, yang memperkuat pandangan bahwa perang akan tetap terkendali.

Selain itu, penurunan juga dipengaruhi sentimen dari laporan pekerjaan AS yang lemah yang mendukung spekulasi bahwa the Fed bisa menghentikan peningkatan suku bunga dan membawa dolar AS turun. Penurunan dolar membuat minyak lebih terjangkau bagi importir.

Sejalan dengan fakta bahwa perang tidak meluas ke wilayah produsen minyak penting di Timur Tengah setelah hampir sebulan sejak perang dimulai, kekhawatiran tentang permintaan minyak kembali muncul.

Persediaan minyak AS naik dalam data minggu terbaru, dan aktivitas pabrik di China, importir minyak terbesar, kembali masuk ke dalam kontraksi bulan lalu. Likuiditas rendah juga memperparah fluktuasi harga minyak AS.

“Pasar sebagian besar berputar sekitar kekhawatiran akan permintaan karena data ekonomi China terus lemah dan persediaan AS meningkat,” kata Rebecca Babin, seorang pedagang energi senior di CIBC Private Wealth.

Dia menambahkan bahwa investor menunggu untuk melihat apakah Arab Saudi tidak mengubah harga jual resmi saat kecemasan tentang penyebaran konflik di Timur Tengah mereda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper