Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan rata-rata penghimpunan dana initial public offering (IPO) dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan.
Direktur Bursa Efek Indonesia I Gede Nyoman Yetna mengatakan operator pasar modal itu telah memecahkan rekor IPO selama 33 tahun. Jika pada 1990, jumlah pencatatan saham sebesar 66 perusahaan maka pada 2023, sejauh ini sudah ada 68 perusahaan yang tercatat.
Selain itu, dalam tiga tahun terakhir rata-rata dana hasil IPO mengalami peningkatan. Berdasarkan catatan BEI, rata-rata dana yang telah dihimpun per IPO pada 2021 sebesar Rp421,4 miliar per IPO saham. Jumlah itu melambung pada 2022 menjadi Rp561,6 miliar per IPO saham dan pada tahun berjalan 2023 sebesar Rp729,3 miliar per IPO saham.
“Perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari berbagai sektor usaha yang kami harapkan dapat menambah diversifikasi portofolio investasi bagi para investor,” katanya pada Sabtu, (7/10/2023).
Nyoman menambahkan bila 27 dari 68 perusahaan yang telah IPO merupakan perusahaan dengan Aset Skala Besar, disusul sebanyak 31 perusahaan termasuk dalam kategori Aset Skala Menengah. Sisanya, yaitu 10 perusahaan termasuk dalam kategori Aset Skala Kecil.
Nyoman pun sesumbar jika empat perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar diatas Rp3 trilliun dan free float di atas 15 persen. Begitu pula pada tahun 2022 lalu telah tercatat lima perusahaan dengan kriteria tersebut.
Baca Juga
“Hadirnya perusahaan tercatat ini kami harapkan dapat menambah likuditas transaksi saham di pasar sekunder,” imbuhnya.
Nyoman menegaskan bahwa BEI tidak hanya eksklusif bagi perusahaan sektor ataupun ukuran tertentu. Bursa, lanjutnya, senantiasa berupaya untuk memberikan pendekatan yang lebih inklusif sesuai dengan dinamika bisnis Indonesia.
Menurutnya BEI menyambut kehadiran perusahaan-perusahaan Indonesia dari berbagai ukuran, jenis dan sektor usaha dengan tetap memperhatikan aspek kualitas dan compliance.
“Harapannya, Bursa dapat memberikan kesempatan yang lebih luas dan menjadi katalis bagi perusahaan di Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan bagi perusahaan dengan skala kecil dan menengah serta semakin memperbesar dan meningkatkan going concern bagi perusahaan dengan skala besar,” katanya.
Senior Vice President Investment Banking Capital Market Shinhan Sekuritas Indonesia, Bayu Eko Swastono mengatakan, penyebab tren IPO semakin marak salah satunya yaitu tingginya antusiasme investor saham, dan gencarnya sosialisasi dari BEI.
“Menurut saya penyebabnya yaitu antusiasme investor naik dan sosialisme BEI juga sudah cukup bagus, karena sudah ke mana-mana, jadi lebih mendorong perusahaan untuk IPO di pasar modal,” kata Bayu ditemui di Gedung BEI Jumat, (6/10/2023).
Di lain sisi, Presiden Direktur Kiwoom Sekuritas Indonesia Changkun Shin mengatakan, salah satu faktor pendorong ramainya emiten IPO yaitu regulasi BEI yang semakin mempermudah emiten untuk IPO meski terhadap perusahaan yang baru berdiri.
"Sebagai contoh perusahaan yang belum lama berdiri sudah bisa dilakukan proses IPO. Ditambah peluang mendapatkan dana segar dari masyarakat lebih menggiurkan dibandingkan harus pinjam ke perbankan," ujar Shin kepada Bisnis.
Menurut dia opsi penggalangan dana melalui IPO sangat menguntungkan untuk emiten, dibandingkan opsi lain seperti menerbitkan obligasi atau fasilitas kredit bank. Pasalnya, jika meraih pendanaan dari perbankan atau obligasi, emiten harus membayar beban bunganya.
Kendati demikian, Shin mengingatkan para investor saham perlu mencermati kondisi fundamental para emiten yang baru melantai di Bursa, guna meminimalisir risiko dari investasi saham emiten anyar.
"Pesan untuk para investor atau calon investor, perbanyak literasi keuangan dan pelajari dalam membaca kondisi fundamental perusahaannya, agar terhindar dari saham-saham yang kurang bagus," pungkas Shin.
Daftar IPO Jumbo di BEI antara 2020 sampai 2023:
1. PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) Rp21,9 triliun.
2. PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) Rp18,8 triliun.
3. PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) Rp13,7 triliun.
4. PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) Rp10,7 triliun.
5. PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) Rp10,0 triliun.
6. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) Rp9,0 triliun.
7. PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) Rp8,7 triliun
8. PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) Rp7,9 triliun.