Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Pasar Obligasi RI Jelang Rapat FOMC The Fed

Pasar obligasi Indonesia diprediksi tertekan jelang pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed yang digelar pada 19-20 September nanti.
Pasar obligasi Indonesia diprediksi tertekan menjelang pertemuan Bank Sentral AS Federal Reserve atau The Fed, yakni Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar pada 19-20 September 2023./Abdullah Azzam
Pasar obligasi Indonesia diprediksi tertekan menjelang pertemuan Bank Sentral AS Federal Reserve atau The Fed, yakni Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar pada 19-20 September 2023./Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Pasar obligasi Indonesia diprediksi tertekan menjelang pertemuan Bank Sentral AS Federal Reserve atau The Fed, yakni Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar pada 19-20 September 2023.

Pelaku pasar memprediksi The Fed masih akan tetap menahan suku bunga acuan di level saat ini di kisaran 5,25-5,50 persen. Meski demikian, The Fed masih membuka opsi kenaikan suku bunga satu kali lagi ke level 5,75 persen, setidaknya hingga akhir 2023. Akibatnya, yield obligasi RI terus terkoreksi ke level tinggi.

Berdasarkan data Investing dikutip Senin, (18/9/2023) yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun naik 1,48 persen ke level 6,7 persen. Perlu diketahui, yield obligasi berbanding terbalik dengan harga di pasar sekunder, sehingga semakin tinggi yield maka semakin rendah harganya di pasar karena mengindikasikan sedikitnya permintaan.

Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan, koreksi yield SBN lebih dipengaruhi oleh faktor global, seiring dengan kenaikan US treasury yield, indeks dolar AS, dan kenaikan harga minyak.

Adapun, US treasury yield 10 tahun juga mengalami kenaikan ke level 4,35 persen. Alhasil, menurutnya dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, namun negara-negara lainnya juga mengalami koreksi yield obligasi.

"Dari sisi suplai, seyogyanya akan ada support ke pasar obligasi, karena potensi target penerbitan SBN ke depan berpotensi rendah seiring dengan realisasi fiskal yang masih surplus dan Saldo Anggaran Lebih [SAL] pemerintah yang masih tinggi," kata Handy kepada Bisnis, Senin, (18/9/2023).

Lebih lanjut dia mengatakan, koreksi yield SBN Indonesia juga disebabkan karena tekanan jual investor asing, sementara support dari domestik menurutnya masih cukup solid.

Mengacu data transaksi Bank Indonesia (BI) periode  11–14 September 2023, non-residen di pasar keuangan domestik tercatat melakukan jual neto Rp4,45 triliun terdiri dari jual neto Rp3,98 triliun di pasar SBN dan jual neto Rp0,47 triliun di pasar saham. Namun, menurutnya ketergantungan asing di pasar obligasi sudah menurun.

"Secara valuasi spread antara yield SUN dengan UST yield memang saat ini cukup rendah tapi ada justifikasi karena secara fundamental ekonomi Indonesia membaik, ada potensi upgrade rating, kami perkirakan setelah pemilu. Ketergantungan asing di pasar obligasi juga sudah turun signifikan," ujarnya.

Handy mengatakan, prospek harga obligasi masih berpotensi naik ke depannya, sehingga yield SBN dapat berangsur-angsur menurun. Terlebih, jika sudah ada kepastian suku bunga oleh Federal Reserve, maka peluang penurunan US treasury yield dan yield SBN masih terbuka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rizqi Rajendra
Editor : Ibad Durrohman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper