Bisnis.com, JAKARTA - Circa Oktober 1996, Budiarto Halim mengambil keputusan penting.
Seiring sinyal gelombang permintaan ponsel di Indonesia akibat kedatangan era kartu GSM, jebolan San Francisco State University itu mengajak kakak iparnya, Ardy Hadi Wijaya untuk merintis perusahaan distributor gawai.
"Saya melihat komunikasi merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi masyarakat Indonesia," kenang Budiarto, sebagaimana tercatat pada arsip Harian Bisnis Indonesia edisi 15 Februari 2012.
Hampir 27 tahun berjalan, perusahaan yang dibangun Budiarto dan Ardy, PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) alias Grup Erajaya, sudah bukan lagi nama yang asing. Bahkan, rasanya justru aneh bila Anda membaca artikel ini namun tak tau siapa mereka.
Erajaya merupakan pemimpin bisnis smartphone Tanah Air. Konon, pangsa pangsa pasar mereka di segmen bisnis ini telah mencapai kisaran 40 persen.
Lewat gerai-gerai yang menjual beragam merek—mulai dari iPhone, Samsung, hingga Xiaomi—pendapatan tahunan Erajaya konsisten melampaui Rp40 triliun dalam dua periode fiskal terakhir.
Tahun ini, perusahaan yang telah melantai di BEI sejak 2011 itu bahkan diekspektasikan mampu meraup pendapatan Rp56 triliun dengan konsistensi laba di atas Rp1 triliun. Setidaknya demikian bila mengacu konsensus umum di kalangan analis.
"Meski permintaan produk smartphone belum sepenuhnya pulih ke level pra-pandemi, kami memberikan penilaian optimistis karena kami percaya bahwa fase terburuk telah berlalu," terang analis RHB Sekuritas Vanessa Karmajaya mengamini pandangan konsensus, dikutip Kamis (14/9/2023).
Namun, rupanya capaian dan potensi di depan mata itu belum bikin Erajaya berpangku tangan.
Manajemen meyakini bahwa bersamaan dengan inovasi-inovasi beberapa tahun terakhir, Erajaya mendeteksi adanya berbagai peluang baru di bisnis non-smartphone. Peluang bisnis ini dipandang potensial bukan saja untuk memperbesar jangkauan perusahaan, tapi juga memberikan kontribusi lebih signifikan untuk kebutuhan pelanggan.
Alasan itu yang kemudian membuat perseroan, dalam dua tahun belakangan, mulai mengimplementasikan strategi baru yang membagi lini vertikal usahanya ke dalam empat kategori.
Selain distribusi gadget terutama smartphone lewat Erajaya Digital, empat pilar ini juga terdiri dari penjualan produk internet of things (IoT) dan fesyen lewat Erajaya Active Lifestyle, merek kuliner dan kebutuhan rumah tangga (groceries) via Erajaya Food & Nourishment, serta produk kesehatan dan kecantikan melalui Erajaya Beauty & Wellness.
Sim Chee Ping, Direktur Erajaya, mengakui secara realistis bahwa dalam 3-5 tahun ke depan penjualan elektronik maupun gadget masih tetap akan jadi sumber penghasilan utama perusahaan.
"Namun, dalam waktu yang sama bisnis baru juga memiliki peluang yang luar biasa dan tetap akan berkembang. Sehingga, secara kontribusi, bisnis elektronik akan berkembang serta produk kami di vertikal bisnis kami akan berkembang juga," imbuhnya dalam sesi paparan publik yang dihadiri Bisnis, akhir Juni lalu.
Berdasarkan keputusan grup, empat sosok CEO kemudian terpilih untuk fokus memimpin setiap lini bisnis. Mayoritas dari para CEO ini merupakan direksi entitas induk yang memutuskan untuk ikut "turun gunung," nyemplung langsung demi memastikan pondasi keempat pilar tertanam solid.
Pada bisnis farmasi dan kecantikan misal, Elly Kohardjo akan ikut memberikan kontribusi penting sebagai CEO Erajaya Beauty & Wellness (EBW).
Elly adalah sosok esensial dalam perjalanan bisnis Erajaya, sebab dirinya merupakan karyawan angkatan pertama. Dia sudah ikut urun peran membantu toko ponsel kecil rintisan Budiarto dan Ardy, yang kemudian jadi embrio lahirnya Erajaya.
Elly juga merupakan bagian direksi Erajaya sejak 2007, dan kini menjabat Direktur Pemasaran grup. Pengalaman di bidang ritel dan penjualan itu kemudian menjadi bekal awal Elly untuk mengembangkan Apotek Wellings dan The Face Shop, merek andalan EBW.
Sebagai gambaran, hingga akhir kuartal I/2023, EBW telah memiliki 48 cabang dengan rincian 17 gerai Apotek Wellings dan 31 gerai The Face Shop.
Elly bukan satu-satunya anggota direksi Erajaya yang turun gunung. Dua nama lain, Joy Wahjudi dan Djohan Sutanto, juga ikut berkecimpung memimpin langsung bisnis vertikal Erajaya lainnya.
Joy, yang kini menjabat Wakil Direktur Utama Erajaya, memegang kendali sebagai CEO Erajaya Digital. Pada pilar ini, dirinya menjadi nakhoda merek-merek andalan di segmen bisnis utama Erajaya, yakni penjualan gadget dan smartphone. Terutama lewat portofolio gerai Erafone, iBox, Samsung, Mi Store, hingga Erablue.
Selain penjualan fisik, di bawah komando Joy Erajaya tengah mempergencar penetrasi penjualan secara daring.
Patut digarisbawahi bahwa selain menduduki kursi direksi Grup Erajaya sejak 2020, Joy memiliki pengalaman sebagai direktur di dua perusahaan telekomunikasi raksasa, XL Axiata dan Indosat. Pengalaman ini yang kemudian diekspektasikan pemegang saham bisa memberikan nilai tambah yang semakin kuat untuk Erajaya Digital.
Sementara Djohan, yang juga masih menjabat Direktur Erajaya, bakal bekecimpung langsung sebagai CEO Erayaya Active Lifestyle.
Erajaya Active Lifestyle sendiri telah mengantongi modal berharga seiring aksi initial public offering (IPO) di BEI, Agustus lalu. Mengudara dengan nama resmi PT Sinar Eka Selaras Tbk (ERAL), perusahaan berhasil menghimpun dana Rp404,6 miliar lewat aksi korporasi tersebut. Sebagian besar dari nominal ini telah dialokasikan untuk modal kerja dan pembiayaan entitas anak.
Selain memasarkan produk IoT lewat gerai Garmin, Urban Republic, DJI hingga IT, Erajaya Active Lifestyle belakangan juga agresif meluncurkan merek aparel dan fesyen lewat entitas anaknya. Tepatnya, sejauh ini, lewat JD Sport, Asics dan Urban.
"Penambahan gerai kami tahun ini akan cukup agresif. Kami proyeksikan bisa naik dua kali lipat daripada 2022," terang Djohan ketika dikonfirmasi di gedung BEI, Agustus lalu.
Sebagai konteks, per akhir semester I/2023 Erajaya Active Lifestyle telah memiliki 80 gerai. Angka ini meningkat dibandingkan jumlah 54 gerai per akhir 2022 lalu.
Kemudian satu pilar yang lain, yakni Erajaya Food & Nourishment bakal dikomandoi oleh sosok baru yakni Gabrielle Halim. Meski kalah senioritas dari tiga sosok sebelumnya, namun kontribusi Gabrielle sejauh ini tak bisa dipandang sebelah mata.
Di bawah pengawasannya, EFN mulai memantapkan diri di segmen bisnis bakery cafe, restoran jepang, hingga toko kebutuhan rumah tangga.
Bisnis bakery cafe digarap EFN lewat merek Paris Baguette, yang telah memiliki 8 gerai hingga akhir kuartal I/2023.
Kemudian di sub-segmen restoran Jepang, EFN bahkan telah berhasil ekspansi gerai hingga 50 titik, tepatnya lewat portofolio merek Sushi Tei, Hokkaido-Ya, Yokayoka dan Tom Sushi.
Sedangkan di sub-segmen kebutuhan rumah tangga, EFN bermanuver lewat gerai Grand Lucky yang telah memiliki 5 gerai per Maret 2023.
Sejauh ini, kalangan analis melihat keputusan diversifikasi bisnis Erajaya sebagai langkah positif. Untuk jangka panjang, strategi ini potensial menghasilkan efek penguatan margin mengingat margin pada segmen bisnis non-smatphone cenderung lebih menggiurkan.
"Secara garis besar, fokus ERAA untuk melakukan efisiensi biaya dan tetap berekspansi, ditambah diversifikasi di segmen non-smartphone juga bisa menjadi mitigasi penting apabila sewaktu-waktu terjadi sentimen yang mempengaruhi pasokan smartphone," terang Tim Riset Sinarmas Sekuritas dalam dokumen yang diterima Bisnis, dikutip Kamis (14/9/2023).
Penilaian tersebut memang tidak salah, sebab di atas kertas, margin non-smartphone memang cenderung lebih tinggi.
Sebagai contoh, pada semester I/2023 misalnya, margin laba kotor penjualan eksternal smartphone Erajaya ada pada level 9,55 persen. Pada saat yang sama, seturut kalkulasi Bisnis, margin kotor penjualan eksternal pada segmen aksesoris dan barang lainnya ada pada level 22,22 persen.
Namun, bukan berarti tak ada tantangan berat. Menurut Tim Riset Sinarmas Sekuritas, perseroan tetap wajib berhati-hati dalam hal menjaga keseimbangan di tengah ekspansi gerai yang agresif. Sebab bila tanpa perhitungan prospek matang, pengeluaran modal awal yang terlalu banyak juga bisa membebani perusahaan dalam jangka pendek.
"Saran kami jelas, berhati-hati terhadap sentimen daya beli dan tren inovasi, termasuk preferensi [tujuan ekspansi] yang sesuai dengan anggaran."
Kemudian tantangan lain adalah dalam hal mengantisipasi daya beli masyarakat. Sebab, saat ini mayoritas produk smartphone maupun non-smartphone Erajaya menyasar kalangan menengah ke atas.
Hal itu turut diamini pula oleh analis Ciptadana Sekuritas Nicko Yosafat, dalam keterangan yang diterima Bisnis.
"Sebagai tambahan, perseroan bisa merilis produk yang menyasar segmen lebih bawah dan menawarkan harga lebih murah," terangnya.
Tantangan-tantangan tersebut, di sisi lain, turut masuk pertimbangan pula di kalangan manajemen. Dan, perseroan siap menyambut dengan strategi yang lebih adaptif.
"Kami akan fokus ke semua segmen karena kami melihat pasar Indonesia bukan hanya mid-high [menengah ke atas]," terang Wakil Direktur Erajaya sekaligus CEO Erajaya Digital Joy Wahjudi, dalam sesi paparan publik terakhir perusahaan.
Pada akhirnya, Erajaya bakal memasuki perayaan usia 27 tahun dengan tantangan-tantangan baru.
Waktu-lah yang akan menjawab sejauh mana misi diversifikasi bisnis yang telah dipancang memberikan dampak terhadap kelanjutan bisnis perusahaan.
----
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.