Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah masih melanjutkan pelemahannya pada perdagangan hari ini, Rabu (16/8/2023), di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi China yang berpotensi mengikis permintaan.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak September 2023 melemah 0,05 persen ke US$80,95 per barel pada pukul 09.13 WIB.
Sementara itu, harga minyak berjangka Brent untuk kontrak Oktober 2023 juga melemah 0,05 persen ke US$84,85 per barel.
WTI sebelumnya anjlok 1,8 persen atau US$1,52 ke US$80,99 pada akhir perdagangan Selasa (15/8), sedangkan Brent anjlok US$1,32 atau 1,5 persen ke US$84,89 per barel.
Penurunan suku bunga People’s Bank of China (PBOC) yang tidak terduga menggarisbawahi masalah-masalah yang melanda China, mulai dari memburuknya pelemahan di sektor properti, lesunya belanja konsumen yang menyebabkan deflasi, hingga kekhawatiran akan shadow banking.
Analis UBS Group AG Giovanni Staunovo mengatakan pasar minyak mentah terus tertekan karena kekhawatiran pertumbuhan ekonomi di negara-negara utama.
Baca Juga
"Data ekonomi China terus mengecewakan, sementara data ekonomi AS seperti penjualan ritel berada di sisi yang lebih kuat. Para pelaku pasar khawatir bahwa hal itu membutuhkan suku bunga kebijakan yang lebih tinggi dari the Fed,” ungkap Giovanni seperti dilansir Bloomberg, Rabu (16/8/2023).
Sentimen pelemahan masih menghantui meskipun pasar fisik minyak terus menunjukkan tanda-tanda penguatan. Persediaan minyak mentah di pusat Cushing, Oklahoma, terlihat menurun ke level terendah sejak April, sementara kilang-kilang di Asia terus meningkatkan impor.
Pasokan menjadi semakin ketat sejak akhir Juni setelah negara pengekspor utama OPEC+, Arab Saudi dan Rusia memangkas produksi. Brent dan WTI minyak mentah masih diperdagangkan dalam kondisi mundur, yang menandakan ketatnya pasokan jangka pendek.
Konsumsi juga lebih kuat daripada yang diperkirakan oleh banyak pengamat. Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memperkirakan permintaan global akan mencapai rekor. Di AS, data Badan Informasi Energi (EIA) menunjukkan rekor tingkat penggunaan musiman.
Di sisi lain, reli telah gagal dalam beberapa sesi perdagangan terakhir karena meningkatnya kekhawatiran bahwa permintaan China telah mencapai puncaknya untuk tahun ini. Belanja konsumen dan output industri mengecewakan, pengangguran meningkat dan gejolak di industri perbankan bayangan memicu kekhawatiran yang lebih luas mengenai kesehatan ekonomi negara ini.
Sebelumnya, PBOC menurunkan suku bunga pinjaman satu tahun, atau fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF) sebesar 15 basis poin (bps) menjadi 2,5 persen.
Penurunan ini di luar dugaan sebagian besar analis. Berdasarkan survei oleh Bloomberg, semua kecuali satu dari 15 analis memperkirakan suku bunga akan tetap tidak berubah.
Kemudian, suku bunga 7-day reverse repo rate, yang merupakan suku bunga kebijakan jangka pendek, turun sebesar 10 bps menjadi 1,8 persen.
"Waktu yang sedikit lebih awal dan penurunan suku bunga MLF 15 basis poin yang lebih besar dari yang diharapkan menunjukkan bahwa Beijing merasakan urgensi untuk mengambil lebih banyak tindakan pelonggaran kebijakan untuk menstabilkan ekspektasi dan pertumbuhan," ungkap kepala ekonom China di Credit Agricole Xiaojia Zhi.