Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak melonjak sekitar dua persen pada penutupan perdagangan Kamis (4/8/2023), karena Arab Saudi dan Rusia mengambil langkah-langkah untuk menjaga pasokan tetap ketat hingga September dan mungkin setelahnya.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober naik 1,94 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi menetap pada 85,14 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman September menguat 2,06 dolar AS atau 2,6 persen, menjadi ditutup pada 81,55 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Kurangnya pergerakan harga besar dalam beberapa pekan terakhir telah memangkas volatilitas berjangka close-to-close 30 hari historis atau aktual Brent ke level terendah sejak Februari 2022.
Di pasar minyak lainnya, diesel berjangka AS naik sekitar 2,0 persen menjadi ditutup pada level tertinggi sejak Januari 2023.
Arab Saudi mengatakan akan memperpanjang pengurangan produksi minyak sukarela satu juta barel per hari untuk bulan ketiga termasuk September, negara itu menyebut, pihaknya dapat memperpanjang lebih dari itu atau memperdalam.
Baca Juga
Produksi Saudi diperkirakan sekitar 9 juta barel per hari pada September.
Sementara Wakil Perdana Menteri Alexander Novak mengatakan Rusia akan memangkas ekspor minyak sebesar 300.000 barel per hari pada September.
Pemotongan yang diumumkan itu mengikuti langkah pada Juni oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya seperti Rusia, yang secara kolektif dikenal sebagai OPEC+, untuk membatasi pasokan minyak hingga 2024.
Para menteri OPEC+ akan bertemu pada Jumat untuk meninjau pasar.
"Kami memperkirakan pertemuan (OPEC+) akan menghasilkan kelompok produsen melanjutkan pengurangan produksi yang awalnya dibuat pada pertemuan 5 Oktober, dan meningkat secara sukarela pada pertemuan 3 April dan 4 Juni," kata para analis di ClearView Energy Partners, sebuah perusahaan riset, seperti dikutip Antara.
Harga minyak naik meskipun ada kekhawatiran bahwa beberapa bank sentral di seluruh dunia akan terus menaikkan suku bunga untuk mengurangi inflasi yang membandel, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak.
Di Amerika Serikat, jumlah orang Amerika yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran naik sedikit minggu lalu, sementara PHK turun ke level terendah 11 bulan pada Juli karena kondisi pasar tenaga kerja tetap ketat. Meskipun ketatnya pasar tenaga kerja, beberapa analis mengatakan prospek inflasi terus membaik.
Pada saat yang sama, sektor jasa-jasa AS melambat pada Juli karena bisnis menghadapi harga input yang lebih tinggi meskipun permintaan terus meningkat, menunjukkan jalan menuju inflasi rendah bisa panjang dan lambat.
"Indikator aktivitas ISM (Institute for Supply Management) menunjukkan bahwa manufaktur berada dalam resesi dan output sektor jasa menjadi sedikit lebih lamban," kata analis di ING, sebuah bank, dalam sebuah catatan.
Di China, konsumen minyak terbesar kedua di dunia, bank sentral berjanji untuk mengarahkan lebih banyak sumber keuangan ke ekonomi swasta, menunjukkan urgensi baru dari Beijing untuk meningkatkan kepercayaan saat momentum ekonomi melemah.
Di Inggris, Bank Sentral Inggris menaikkan suku bunga utamanya sebesar seperempat persentase poin ke level tertinggi dalam 15 tahun sebesar 5,25 persen, kenaikan ke-14 berturut-turut, dan memperingatkan bahwa biaya pinjaman kemungkinan akan tetap tinggi untuk beberapa waktu.
Di Eropa, penurunan aktivitas bisnis zona euro memburuk lebih dari yang diperkirakan pada Juli, karena penurunan manufaktur disertai dengan perlambatan pertumbuhan lebih lanjut di industri jasa-jasa yang dominan di blok tersebut.