Bisnis.com, JAKARTA - Rencana listing di bursa Hong Kong oleh perusahaan logistik Tanah Air J&T Express mewarnai pasar saham global yang masih fluktuatif.
Hal itu menjadi kelanjutan ekspansinya ke China yang sudah dilakukan sejak Maret 2020. Startup ini bakal menyandang status sebagai unicorn apabila telah memiliki valuasi lebih dari US41 miliar atau setara dengan Rp14 triliun.
Selain rencana IPO Hong Kong, terdapat pula informasi komprehensif lainnya yang menjadi pilihan redaksi BisnisIndonesia.id pada Senin (19/6/2023). Di antaranya adalah:
1. Langkah Mantap Jenama Logistik Indonesia Menuju IPO Hong Kong
Seperti dilaporkan oleh Reuters, Jumat (17/2/2022) PT Global Jet Express, pengelola J&T Express berencana untuk go public di Hong Kong pada paruh kedua tahun ini. J&T sedang mempertimbangkan untuk mengumpulkan dana dari IPO sebesar US$500 juta hingga US$1 miliar.
Jika ditarik mundur, perusahaan logistik tersebut disebut-sebut akan melakukan penawaran umum perdana di Hong Kong sejak 2021. Berdasarkan catatan Bisnis, pada Agustus 2021, salah satu sumber Bloomberg menyebutkan bahwa J&T Express dalam pertimbangan untuk mengalihkan lokasi IPO dari Amerika Serikat ke Hong Kong.
Kekuatan J&T Express juga makin didorong oleh status unicorn sejak April 2021 dengan valuasi mencapai US$7,8 miliar. Sekadar informasi, startup bakal menyandang status sebagai unicorn apabila telah memiliki valuasi lebih dari US41 miliar atau setara dengan Rp14 triliun.
2. Loyalitas Investor Korea Selatan Suntik Dana Bank di Indonesia
Pertumbuhan dan potensi besar sektor jasa keuangan Indonesia, tampaknya cukup menjadi sasaran bisnis konglomerasi asing. Tak terkecuali investor Korea Selatan yang terhitung semakin loyal berinvestasi di Indonesia.
Loyalitas investor Korea Selatan untuk mengucurkan dananya di sektor perbankan menunjukkan tren positif. Sepanjang berjalan tahun ini, setidaknya terdapat dua bank di bawah konglomerasi Korea Selatan akan mendapat injeksi dana.
Teranyar, mereka di antaranya adalah PT Bank IBK Indonesia Tbk. (AGRS) yang melaporkan pemegang saham pengendali, Industrial Bank of Korea (IBK) berencana melakukan suntikan dana sebesar Rp1 triliun.
3. Pasar Otomotif Melaju Moderat, Penjualan Mobil Impor Melejit
Penjualan mobil berstatus impor secara utuh melejit di saat pasar otomotif melaju moderat sepanjang lima bulan pertama tahun ini. BMW yang bermain di segmen premium mencatatkan akselerasi paling kuat, demikian pula merek spesialis mobil kecil Suzuki.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pengiriman mobil impor pada Januari-Mei 2023 meningkat signifikan 73,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) menjadi 45.513 unit.
Adapun penjualan mobil secara keseluruhan di pasar domestik juga meningkat, namun tidak terlalu kencang. Wholesales otomotif meningkat 6,9% menjadi 423.404 unit, sementara penjualan ritelnya meningkat 10,7% menjadi 422.514 unit.
4. Strategi Industri Keramik Tangkap Peluang Pasar Domestik
Pelemahan pasar dunia serta dinamika geopolitik punya efek bola salju bagi industri di dalam negeri, termasuk industri keramik. Setelah ekspor melemah, giliran pasar domestik terancam diserbu produk asing. Bagaimana siasat agar peluang tak hilang?
Berdasarkan data BPS, volume ekspor produk keramik pada 2022 telah sedikit terungkit setelah sebelumnya mengalami penurunan. Pengapalan produk berkode HS 69 pada tahun lalu sebanyak 324.680 ton (+2,5%), adapun tahun sebelumnya 316.807 ton (-3,1%).
Meski dari sisi volume sedikit naik, dari sisi nilai justru mengalami penurunan. Ekspor produk keramik pada 2022 tercatat US$338,37 juta.
5. AS Monitor Ketat Kebijakan Valas Negara Kaya Ini, Ada China
Amerika Serikat melaporkan terdapat tujuh negara yang masuk dalam daftar monitor, termasuk China, terkait dengan praktik perdagangan valuta asing (valas), sebuah tekanan untuk negara mitra agar tidak melakukan manipulasi.
Ketujuh negara itu adalah China, Jerman, Malaysia, Singapura, Swiss, dan Taiwan.
Laporan yang dimandatkan oleh Kongres ini dirancang untuk menekan mitra dagang yang dianggap menahan nilai tukar mereka secara dibuat-buat untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.