Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah dunia melesat naik di tengah kekhawatiran berkurangnya pasokan akibat dinamika teranyar dari Irak. Namun prospek harga komoditas energi utama itu diperkirakan masih bakal berfluktuasi dalam beberapa waktu ke depan.
Mengutip pemberitaan Bisnis, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2023 melambung 5,1 persen sehingga menjadi US$72,81 per barel di New York Mercantile Exchange. Begitu pula dengan minyak mentah Brent untuk pengiriman Mei yang melonjak 4,2 persen sehingga ditutup pada US$78,12 per barel di London ICE Futures Exchange pada Senin (27/3/2023).
Analis Komoditas dan Founder Traderindo Wahyu Laksono menjelaskan sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan harga minyak global adalah perkembangan krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa. Langkah Federal Deposite Insurance Corporation (FDIC) untuk menyelamatkan Silicon Valley Bank (SVB) dia sebut meningkatkan gairah pasar dan berdampak pada pelemahan dolar AS. Di sisi lain, mayoritas bursa saham bergerak hijau dan hal ini disertai dengan rebound pada komoditas.
“Di sisi lain aset terkait safe haven seperti yen Jepang dan emas melemah, sementara harga minyak ikut terangkat ketika dolar AS melemah,” kata Wahyu, Selasa (28/3/2023).
Penguatan harga minyak juga turut dipengaruhi oleh hasil sengketa antara Irak dan Turki terkait dengan ekspor minyak dari wilayah Kurdistan. Arbitrase internasional memenangkan Irak dalam kasus ini sehingga Irak pun menghentikan ekspor sebanyak 450.000 barel per hari dari wilayah tersebut.
Sengketa yang berlangsung sejak 2014 tersebut diawali oleh klaim Irak yang menyebutkan bahwa Turki telah melanggar kesepakatan bersama dengan mengizinkan otoritas lokal Kurdistan mengekspor minyak melalui pipa ke pelabuhan Ceyhan di Turki. Irak menilai pengiriman minyak tersebut ilegal.
Baca Juga
“Volume ekspor yang dihentikan sebenarnya bukan jumlah yang besar, tetapi hal ini mungkin mencerminkan kegugupan di sektor energi mengingat perang Ukraina-Rusia masih menjadi isu,” tambah Wahyu.
Meski sentimen krisis perbankan cenderung mereda, Wahyu berpendapat harga minyak belum bebas dari risiko pelemahan. Dia mengatakan suku bunga yang tinggi menempatkan sektor perbankan dan pasar finansial pada posisi rentan dan berisiko memunculkan kekhawatiran resesi global yang sejatinya telah diprediksi sejak 2022.
Arah kebijakan The Fed selanjutnya bakal memainkan peran pada kondisi pasar, termasuk harga komoditas. Harga komoditas berpotensi mengalami tekanan ketika terjadi resesi akibat melemahnya permintaan saat suku bunga tinggi.
Wahyu mengatakan saat ini komoditas energi masih dalam fase konsolidasi pada tahun ini dengan breakout lower konsolidasi di US$70 sampai dengan US$83 per barel.
Sementara itu, minyak mentah berpotensi bergerak di US$60 sampai US$111 per barel dalam jangka menengah. Wahyu menjelaskan bahwa secara teknikal US$60 per barel menjadi support psikologis penting selama jangka menengah.
“Jika tembus, maka bisa bergerak di rentang US$50—US$95 per barel. Namun jika tembus US$50, bukan mustahil peluang ke level US$40 akan terbuka walaupun sangat berat peluang ke sana. Saat ini kisaran konsolidasi masih sekitar US$70 sampai US$75 per barel,” paparnya.