Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan domestic market obligation (DMO) Australia bagi penambang batu bara untuk mencadangkan 10 persen dari produksi bagi pasar domestik direspon antusias oleh emiten Grup Salim PT Bumi Resources Tbk. (BUMI).
Direktur Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan permintaan listrik saat ini meningkat, tetapi tidak ada pendanaan yang tersedia bagi peningkatan produksi batu bara atau proyek terkait batu bara. Akibat hal tersebut, pasokan batu bara berkurang, di tengah tingginya permintaan.
Sementara itu, kata Dileep, energi terbarukan masih belum bisa diandalkan untuk menggantikan bahan bakar fosil.
"Situasi seperti DMO akan berfungsi untuk memperketat ketersediaan batu bara untuk ekspor, maka harga batu bara bisa tetap tinggi di pasar," kata Dileep kepada Bisnis, dikutip Senin (23/1/2023).
Meski situasi ini terlihat menguntungkan bagi BUMI, tetapi Dileep melihat tantangan tahun ini akan datang dari cuaca yang tidak mendukung seperti hujan lebat terus menerus, yang berdampak pada hasil produksi BUMI.
Sebelumnya, BUMI menargetkan produksi batu bara dapat mencapai 80 juta ton hingga 85 juta ton tahun ini.
Baca Juga
Menurut Dileep, target produksi batu bara BUMI 2023 masih lebih rendah dibandingkan kapabilitas produksi batu bara BUMI di situasi normal, yang bisa mencapai 90 juta ton per tahun dari KPC dan Arutmin.
BUMI menyampaikan akan menganggarkan belanja modal hingga US$90 juta atau setara Rp1,4 triliun (kurs Jisdor Rp15.636 per dolar AS) pada 2023.
Dileep menuturkan BUMI memperkirakan belanja modal atau capital expenditure (capex) yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 ton batu bara adalah sebesar US$1.
"Kami memperkirakan capex di tahun penuh 2023 sebesar US$80 juta-US$90 juta untuk produksi batu bara dan juga untuk pemeliharaan, dan sebagian capex untuk pengeluaran untuk peralatan," ucap Dileep.