Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Dibuka Melemah, Alarm Merah Menuju Rp15.400 per Dolar

Saat rupiah hari ini dibuka melemah, yuan China juga melemah 0,22 persen, dan baht Thailand melemah 0,27 persen di hadapan dolar AS.
Karyawan memperlihatkan uang rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Jakarta, Rabu (6/72022). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawan memperlihatkan uang rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Jakarta, Rabu (6/72022). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah dibuka melemah di hadapan dolar AS pada awal perdagangan Rabu (12/10/2022).

Mengutip data Bloomberg, rupiah dibuka melemah 18 poin atau 0,12 persen ke Rp15.375 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,28 persen ke 113,54.

Bersama rupiah, mata uang dolar Taiwan melemah 0,02 persen, peso Filipina melemah 0,19 persen, yuan China melemah 0,22 persen, dan baht Thailand melemah 0,27 persen.

Sebelumnya, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memprediksikan rupiah dibuka berfluktuatif. Namun, untuk penutupan ia memprediksi rupiah melemah di rentang Rp15.350 sampai Rp15.400.

Ibrahim mengatakan menguatnya nilai dolar AS seiringan dengan kekhawatiran investor terhadap kenaikan suku bunga. Selain itu, eskalasi dalam perang Rusia-Ukraina juga menjadi faktor lainnya.

"Sementara imbal hasil Treasury melonjak karena keruntuhan yang mengerikan di pasar obligasi Inggris memantul di sekitar pasar obligasi global," ujar Ibrahim dalam risetnya pada Selasa (11/10/2022).

Lebih lanjut, Ibrahim mengatakan harga berjangka menunjukkan pedagang berekspektasi bank sentral AS alias The Fed akan menaikan suku bunga sebanyak 75 basis poin pada bulan depan.

Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memberi peringatakan bahwa risiko resesi global akan meningkat. Inflasi tetap menjadi masalah setelah Rusia menjalankan operasi khusus ke Ukraina.

Hal ini membuat pertumbuhan negara maju menjadi melambat dan depreseiasi mata uang banyak terjadi di negara berkembang.

Roda perekonomian benua Eropa kian melambat lantaran melonjaknya harga gas. Selain itu, melambatnya perekonomian Cina juga terjadi dengan adanya kebijakan zero Covid policy dan volatilitas pada sektor perumahan.

"IMF menghitung bahwa sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami kontraksi setidaknya dua kuartal berturut-turut tahun ini dan tahun depan," jelas Ibrahim.

Ibrahim mengatakan perlambatan pertumbuhan negara maju ditambah kenaikan suku bunga, risiko iklim dan tingginya harga komoditas sangat memukul negara berkembang. Indonesia pun bisa terkena dampaknya meski saat ini Produk Domestik Bruto (PDB) 2022 masih relatif baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper