Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah dibuka melemah di hadapan dolar AS pada awal perdagangan Rabu (12/10/2022).
Mengutip data Bloomberg, rupiah dibuka melemah 18 poin atau 0,12 persen ke Rp15.375 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,28 persen ke 113,54.
Bersama rupiah, mata uang dolar Taiwan melemah 0,02 persen, peso Filipina melemah 0,19 persen, yuan China melemah 0,22 persen, dan baht Thailand melemah 0,27 persen.
Sebelumnya, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memprediksikan rupiah dibuka berfluktuatif. Namun, untuk penutupan ia memprediksi rupiah melemah di rentang Rp15.350 sampai Rp15.400.
Ibrahim mengatakan menguatnya nilai dolar AS seiringan dengan kekhawatiran investor terhadap kenaikan suku bunga. Selain itu, eskalasi dalam perang Rusia-Ukraina juga menjadi faktor lainnya.
"Sementara imbal hasil Treasury melonjak karena keruntuhan yang mengerikan di pasar obligasi Inggris memantul di sekitar pasar obligasi global," ujar Ibrahim dalam risetnya pada Selasa (11/10/2022).
Baca Juga
Lebih lanjut, Ibrahim mengatakan harga berjangka menunjukkan pedagang berekspektasi bank sentral AS alias The Fed akan menaikan suku bunga sebanyak 75 basis poin pada bulan depan.
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memberi peringatakan bahwa risiko resesi global akan meningkat. Inflasi tetap menjadi masalah setelah Rusia menjalankan operasi khusus ke Ukraina.
Hal ini membuat pertumbuhan negara maju menjadi melambat dan depreseiasi mata uang banyak terjadi di negara berkembang.
Roda perekonomian benua Eropa kian melambat lantaran melonjaknya harga gas. Selain itu, melambatnya perekonomian Cina juga terjadi dengan adanya kebijakan zero Covid policy dan volatilitas pada sektor perumahan.
"IMF menghitung bahwa sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami kontraksi setidaknya dua kuartal berturut-turut tahun ini dan tahun depan," jelas Ibrahim.
Ibrahim mengatakan perlambatan pertumbuhan negara maju ditambah kenaikan suku bunga, risiko iklim dan tingginya harga komoditas sangat memukul negara berkembang. Indonesia pun bisa terkena dampaknya meski saat ini Produk Domestik Bruto (PDB) 2022 masih relatif baik.