Bisnis.com, PANGKALPINANG — PT Timah Tbk. (TINS) bakal berupaya meningkatkan kapasitas produksi di bidang hilir timah melalui anak usahanya yakni PT Timah Industri, minimal dua kali lipat dibanding kapasitas terpasang tahun lalu, sebagai respons atas rencana pemerintah melarang ekspor balok timah atau ingot.
Direktur Operasi dan Produksi Timah Purwoko mengatakan bahwa sebagai BUMN, PT Timah bersama induk usahanya MIND ID tentu akan mendukung kebijakan pemerintah.
Perusahaannya pun menyadari bahwa langkah pemerintah tersebut bertujuan untuk mendorong percepatan industri hilir timah di dalam negeri.
Menurutnya, PT Timah sejatinya sudah mengupayakan penguatan industri hilir sejak lama. Pada 2008 lalu, PT Timah Industri sudah diputuskan untuk berfokus pada pengembangan bisnis di bidang hilir timah, setelah sebelumnya anak usaha ini mencoba terlalu banyak lini usaha lain.
Sejak 2010, anak usaha tersebut sudah membangun pabrik tin chemical dan tin solder di Cilegon, Banten. Kontribusinya terhadap kinerja keuangan PT Timah selaku induknya pun cukup signifikan, dengan tingkat pertumbuhan yang memuaskan selama beberapa tahun terakhir.
“Dari tahun ke tahun hingga saat ini, kontribusi ke induk cukup lumayan, dari sisi pendapatan maupun profit, dan perkembangannya cukup fantastis. Produksi bisa [tumbuh] dobel, pendapatan dobel, semuanya. Ini yang mesti kita dorong. Seandainya nanti export ban itu terjadi, bahan-bahan produk ingot atau produk logam dari PT Timah kita dorong ke PT Timah Industri semua,” katanya, Rabu (22/6).
Baca Juga
Tantangan bagi perseroan saat ini adalah untuk mengejar peningkatan kapasitas produksi dalam waktu yang relatif singkat, sebab pemerintah telah menegaskan bahwa larangan ekspor akan dilakukan akhir tahun ini. Artinya, hanya tersisa beberapa bulan bagi emiten berkode TINS ini untuk menyesuaikan kapasitasnya.
Di sisi lain, untuk melakukan penyesuaian kapasitas produksi hilir ini, perseroan harus memastikan pula seberapa besar pasar produk hilir yang bisa dimasuki PT Timah. Sebab, perseroan menghitung bahwa untuk menampung seluruh produksi timah perusahaan, kapasitas pabrik hilir perlu ditingkatkan antara dua kali lipat hingga tingga kali lipat.
Namun, jika tidak berhati-hati, produksi yang terlalu besar justru terancam tidak terserap atau tidak sesuai dengan kapasitas permintaan di pasar. Oleh karena itu, saat ini perseroan sedang berfokus melakukan penjajakan pasar guna menentukan keputusan final peningkatan kapasitas produksi.
“Isunya nanti, kapasitas bisa diperbesar, tetapi pasarnya seperti apa? Makanya kita lagi intens dengan holding, dengan MIND ID, bagaimana mengembangkan dan membuat strategi korporasi untuk menggabungkan antara stratesi produksinya dan stretagi marketing-nya,” katanya.
Purwoko mengatakan bahwa saat ini perseroan memiliki dua perusahaan trading di luar negeri yang bisa diandalkan sebagai garda terdepan untuk memasarkan produk timah hilir yang akan diproduksi nantinya.
Meski menantang, dirinya meyakini bahwa potensi pasar timah hilir sebenarnya sangat besar. Tiga produk utama pemanfaatan logam timah di dunia adalah produk timah solder, chemical, dan plate. PT Timah Industri kini sudah menguasai dua produk utama, yakni timah untuk solder dan chemical.
Dulu, perseroan juga menguasai produk tin plate melalui PT Pelat Timah Nusantara Tbk. (NIKL) yang dibangun bersama PT Krakatau Steel (Persero). Namun, karena satu dan lain hal, TINS memutuskan melepas 25 persen sahamnya di perusahaan tersebut.
Dengan demikian, fokus perseroan kini pada dua produk yang diproduksi PT Timah Industri. Kapasitas terpasang salah satu pabrik tin chemical di Cilegon adalah sekitar 10.000 ton per tahun, sedangkan tin solder 4.000 ton per tahun. Tahun lalu, realisasi produksi tin chemical baru sekitar 7.000 ton, sedangkan tin solder sekitar 2.000 ton.
“Kalau kita mau mengejar itu, minimal [peningkatan kapasitasnya] harus dobel. Jadi, tin chemical bisa 20.000 ton, tin solder 10.000 ton paling tidak. Saat ini lagi intens berdiskusi dengan Timah Industri di Cilegon untuk mensiasati atau mencari strategi untuk menghadapi export ban itu jika dijalankan pemerintah,” katanya.
Meski menantang, sejauh ini perseroan belum berencana untuk mengubah rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP).
“Terkait dampak kebijakan larangan ekspor ke RKAP, kita belum ada wacana atau pemikiran untuk merevisi RKAP kita tahun 2022. Kita masih yakin bahwa kita bisa mencapai target-target RKAP itu,” katanya.