Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah sentimen seperti kenaikan suku bunga di Indonesia dan tekanan nilai tukar rupiah perlu diperhatikan korporasi yang hendak menerbitkan obligasi pada paruh kedua tahun 2022.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede mengatakan, korporasi yang berencana untuk menerbitkan obligasi perlu mewaspadai potensi kenaikan suku bunga Bank Indonesia. ia menjelaskan, kenaikan suku bunga BI diperkirakan mendorong kenaikan suku bunga secara umum.
“Hal ini akan membuat borrowing cost dari penerbitan obligasi meningkat,” jelasnya saat dihubungi Bisnis, Senin (20/6/2022).
Josua melanjutkan, peningkatan ini juga berpotensi mengganggu kinerja dari bisnis usaha yang memutuskan untuk menerbitkan obligasi pada semester II/2022.
Selain dari potensi kenaikan suku bunga, tantangan lain yang akan dihadapi obligor adalah tekanan dari sentimen The Fed kepada nilai tukar. Sentimen ini, lanjut Josua, akan menekan permintaan obligasi dari investor asing.
Sementara itu, sektor yang berpotensi dominan dalam penerbitan obligasi menurut Josua adalah sektor pertambangan dan keuangan. Ia memaparkan, penerbitan dari sektor pertambangan cenderung dominan mengingat harga komoditas global serta permintaan masih relatif solid.
Baca Juga
“Dengan tren ini, kami perkirakan kebutuhan pembiayaan untuk ekspansi relatif tinggi,” katanya.
Adapun pembiayaan sektor keuangan diperkirakan berasal dari strategi lembaga keuangan untuk mendapatkan borrowing cost yang lebih rendah di tengah potensi normalisasi kebijakan moneter.
Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebutkan, realisasi penerbitan surat utang hingga pekan pertama Juni 2022 mencapai Rp64,29 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun 2021 dengan Rp38,19 triliun dan Rp28,09 triliun pada 2020.