Bisnis.com, JAKARTA – Harga aset kripto terbesar Bitcoin masih bergerak melemah di tengah sentimen lonjakan inflasi di AS.
Berdasarkan data coinmarketcap.com pada Senin (13/6/2022), harga Bitcoin sempat anjlok hingga 9 persen ke posisi di bawah US$25.000, atau level terendahnya sejak Desember 2020. Hingga pukul 14.00 WIB, harga Bitcoin terpantau di level US$25.361,47.
Komisaris Utama PT HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo menjelaskan, turunnya harga Bitcoin didorong oleh dampak kejutan data inflasi AS pada Jumat yang terus bergema melalui aset berisiko global. Ia mengatakan, harga aset kripto lainnya juga menurun karena aksi jual yang lebih luas berlanjut.
“Pergerakan kripto mengikuti aset berisiko lainnya seperti indeks Nasdaq 100 yang mengalami pukulan paling berat dalam sejarah perdagangan di tahun ini,” jelasnya saat dihubungi, Senin (13/6/2022).
Ia melanjutkan, sentimen Inflasi yang terus mengukir rekor tinggi dalam hitungan dekade telah memicu kekhawatiran pasar. Hal tersebut utamanya terkait kemampuan The Fed untuk mengendalikan inflasi.
Sentimen ini juga ditambah dengan potensi terjadinya stagflasi. Pelaku pasar mengkhawatirkan kenaikan suku bunga yang agresif akan berimbas pada terhentinya pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
Ke depannya, Sutopo mengatakan pergerakan harga Bitcoin masih akan volatil. Menurutnya, volatilitas pada pasar kripto masih akan berlanjut sepanjang laju inflasi belum normal.
Meski demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan harga Bitcoin dapat kembali menguat hingga akhir tahun.
“Saat ini Bitcoin berada di kisaran US$25.000 – US$28.000, range transaksi kemungkinan lebih mendekati aspek psikologis pedagang. Untuk 1 tahun ke depan kami prediksi Bitcoin ada di rentang US$20.000 – US$40.000,” imbuhnya.
Sutopo menambahkan, tren penurunan harga Bitcoin ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk masuk. Ia menyarankan investor untuk membeli secara bertahap tiap bulannya sambil memantau volatilitas dan kondisi pasar setiap saat.