Bisnis.com, JAKARTA – Harga Bitcoin melanjutkan pelemahannya pada hari ini menyusul derasnya aksi jual di pasar kripto akibat lonjakan inflasi di AS.
Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (13/6/2022), harga Bitcoin anjlok hingga 9 persen ke posisi di bawah US$25.000, atau level terendahnya sejak Desember 2020. Tren ini sekaligus melanjutkan koreksi harga Bitcoin selama 7 hari beruntun.
Sementara itu, harga Ether juga terpantau melemah hingga 9 persen ke level US$1.342.32. Harga aset kripto lain seperti Cardano, Dogecoin, Polkadot, dan Avalanche juga terpantau berada di zona merah.
Antoni Trenchev, Co-Founder dan Managing Partner Nexo mengatakan pasar aset kripto terus ditekan oleh sentimen dari The Fed dan aset-aset berisiko lain seperti saham pada indeks Nasdaq.
“Munculnya proyeksi harga Bitcoin di kisaran belasan ribu dolar AS menggambarkan lingkungan makro dan level ketakutan yang sedang dihadapi pasar kripto untuk pertama kalinya,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Adapun, pasar memprediksi adanya langkah yang lebih agresif dari The Fed untuk memperketat kebijakan moneter setelah data inflasi AS melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun. Hal ini memicu aksi jual pada aset-aset berisiko, termasuk saham dan kripto.
Baca Juga
Sebelumnya, Trader Tokocrypto, Afid Sugiono, mengungkap ke depan overall market akan ke arah pullback dalam jangka pendek. Sementara, jangka menengah masih melihat ke arah sideways. Acuannya dari Bitcoin masih kemungkinan besar akan diperdagangkan di range US$28.800 - US$32.000.
"Sentimen market sejatinya masih terpantau bearish. Pasalnya, kenaikan nilai aset kripto terbilang stagnan atau tidak signifikan. Kuat dugaan, investor masih enggan melakukan aksi beli, karena belum terlalu percaya diri di pasar kripto," katanya.
Namun, analisis firma investasi aset digital, Two Prime, melihat beberapa perusahaan manajemen investasi sengaja melakukan aksi beli di kondisi market saat ini, karena berharap harga aset kripto bisa menembus level resistance. Mereka mau tak mau harus melakukan price actions yang kuat agar bisa mendulang keuntungan ketika bull market.
Sentimen negatif yang memberatkan pergerakan market masih datang dari faktor ketidakpastian makroekonomi ke depan. Bank Dunia baru-baru ini menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya pada 2022 dari 4,9 persen ke 2,1 persen. Sementara itu, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mengatakan di hadapan Senat AS bahwa inflasi AS bakal terus menanjak.