Bisnis.com, JAKARTA — Para pemegang saham PT Timah Tbk. (TINS) sepakat untuk melakukan perombakan jajaran direksi dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar hari ini, Selasa (24/5/2022).
Perombakan jajaran direksi dilakukan menyusul berakhirnya masa jabatan Alwin Albar sebagai Direktur Operasi dan Produksi Timah pada 28 April 2022.
"Selama lowongnya posisi tersebut sampai pelaksanaan RUPST hari ini, posisi yang ditinggalkan Alwi untuk sementara dijabat oleh Purwoko," jelas Sekretaris Perusahaan Timah Abdullah Umar Baswedan.
Adapun berdasarkan hasil RUPST, posisi Direktur Operasi dan Produksi untuk periode selanjutnya diisi oleh Purwoko. Sementara itu, Alwin Albar ditunjuk sebagai Direktur Pengembangan Usaha.
Timah juga mengganti posisi Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko menjadi Fina Eliani, menggantikan M. Krisna Sjarif.
Berikut susunan kepengurusan Timah terbaru:
Baca Juga
Dewan Komisaris
M. Alfan Baharudin : Komisaris Utama/Independen
Agus Rajani Panjaitan : Komisaris Independen
Danny Praditya : Komisaris
Sufyan Syarif : Komisaris
Rustam Effendi : Komisaris
Yudo Dwinanda Priaadi : Komisaris
Direksi
Achmad Ardianto : Direktur Utama
Fina Eliani : Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko
Alwin Albar : Direktur Pengembangan Usaha
Purwoko : Direktur Operasi dan Produksi
Yennita : Direktur Sumber Daya Manusia Dalam
Selain menyepakati perubahan susunan pengurus, RUPST PT Timah Tbk. juga menyetujui membagikan dividen untuk tahun buku 2021 sebesar 35 persen dari laba bersih 2021 yang mencapai Rp1,3 triliun, atau sekitar Rp455 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan, TINS membukukan kenaikan laba bersih 2021 sebesar 483 persen menjadi Rp1,3 triliun dibandingkan dengan 2020 yang rugi sebesar Rp341 miliar. Lonjakan laba bersih ditopang oleh penurunan beban pokok pendapatan.
Sepanjang 2021, beban pokok pendapatan TIMAH turun 21 persen menjadi Rp11,17 triliun dibandingkan dengan 2020 yang sebesar Rp14,09 triliun.
Berbanding lurus dengan laba bersihnya, EBITDA Perseroan naik 150 persen menjadi Rp2,90 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp1,16 triliun.
Berkurangnya beban finansial akibat “deleveraging strategy” dan kemampuan perseroan memilih sumber pendanaan berbiaya rendah menjadi salah satu faktor pendukung kenaikan EBITDA.