Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wall Street Menukik Tajam, Nasdaq Ambruk 3,62 Persen

Nasdaq mencatatkan hari terburuknya dalam lebih dari sebulan, dan secara resmi memasuki pasar bearish setelah turun lebih dari 20 persen dari rekor tertinggi baru-baru ini.
Pekerja berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS, Senin (3/1/2021). Bloomberg/Michael Nagle
Pekerja berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS, Senin (3/1/2021). Bloomberg/Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat turun tajam pada penutupan perdagangan Senin (7/3/2022) waktu setempat lantaran investor cemas mempertimbangkan potensi inflasi yang tinggi dan kerusakan ekonomi global akibat perang Rusia-Ukraina.

Berdasarkan data Bloomberg, Selasa (8/3/2022), indeks Dow Jones Industrial Average ditutup anjlok 2,37 persen atau 797,42 ke 32.817,38, S&P 500 ambruk 2,95 persen atau 127,78 poin ke 4.201,09, dan Nasdaq terperosok 3,62 persen atau 482,48 ke 12.830,96.

Nasdaq mencatatkan hari terburuknya dalam lebih dari sebulan, dan secara resmi memasuki pasar bearish setelah turun lebih dari 20 persen dari rekor tertinggi baru-baru ini.

Indeks DAX Jerman (DAX) serta STOXX 50 (FEZ) juga masing-masing merosot ke pasar bearish. Pedagang berburu aset safe haven, dan harga emas sempat melonjak di atas US$2.000 per ounce untuk pertama kalinya sejak September 2020.

Di pasar energi, harga minyak mentah Brent melonjak hingga US$137 per barel, membangun keuntungan selama beberapa minggu terakhir. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), juga naik menjadi US$130,50 per barel.

Lonjakan harga energi terjadi ketika Amerika dan negara-negara Eropa mempertimbangkan larangan impor minyak mentah Rusia dalam upaya hukuman lebih lanjut untuk invasi negara itu ke Ukraina.

AS hanya menerima sebagian kecil produk energi dari Rusia, dengan hanya sekitar 7,9 persen dari total impor minyak bumi termasuk minyak mentah yang berasal dari negara itu pada 2021, menurut Administrasi Informasi Energi.

Namun, larangan semacam itu dapat berdampak lebih negatif pada negara-negara Eropa yang cenderung bergantung pada minyak mentah Rusia serta gas alam untuk energi. Harga logam yang digunakan dalam baterai dan produk energi bersih lainnya termasuk paladium dan nikel juga melonjak pada Senin karena para pedagang mengamati langkah percepatan energi alternatif terbarukan.

Invasi Rusia ke Ukraina dan tanggapan Barat terhadapnya akan memperburuk ketidakseimbangan penawaran-permintaan yang menjadi inti dari lonjakan inflasi global," tulis ekonom Goldman Sachs Jan Hatzius.

Hatzius menambahkan bahwa pergeseran potensial cukup kecil pada tingkat agregat, mengingat Rusia berkontribusi kurang dari 2 persen dari perdagangan barang global dan produk domestik bruto. Tetapi dalam minyak, Rusia memasok 11 persen dari konsumsi global, dan 17 persen dari gas alam, termasuk sebanyak 40 persen dari konsumsi Eropa Barat.

"Jika negara-negara Barat membeli lebih sedikit minyak Rusia, China dan India pada prinsipnya dapat membeli lebih banyak minyak Rusia dan dengan demikian mengurangi minyak Saudi dan lainnya, yang kemudian dapat mengalir ke Barat," tambah Hatzius.

Tetapi, lanjutnya, penataan ulang ini tidak sempurna. Pasalnya tidak hanya karena peningkatan biaya transportasi dan gesekan teknis lainnya, tetapi juga karena China dan India mungkin enggan untuk meningkatkan impor mereka dan pembayaran terkait secara tajam pada saat Rusia menjadi paria global.

Ketidakpastian atas perdagangan global dan pasokan barang-barang utama semakin memicu kekhawatiran akan lonjakan inflasi lebih lanjut. Akhir pekan ini, Biro Statistik Tenaga Kerja akan merilis Indeks Harga Konsumen Februari, yang diperkirakan para ekonom akan menunjukkan kenaikan tahunan 7,9 persen untuk lompatan terbesar sejak 1982. Ini mengingat rangkaian kenaikan harga komoditas terbaru bulan ini.

Kami kira Februari akan menandai puncaknya. Namun, dengan kenaikan harga energi yang kami lihat, kita tidak bisa lagi berasumsi bahwa itu akan terjadi. Tentu saja, sehubungan dengan angka-angka utama, saya pikir, kemungkinan kita akan terus melihat tekanan ke depan,” kata Michelle Girard, Wakil Kepala Ekonom Global NatWest, kepada Yahoo Finance Live.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Farid Firdaus
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg/Yahoo Finance
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper