Bisnis.com, JKARTA — Indeks harga saham gabungan (IHSG) terus mencetak rekor baru akhir-akhir ini, seiring dengan bangkitnya kinerja saham-saham berkapitalisasi pasar besar atau big cap. Kondisi ini pun membuka peluang peningkatan kinerja reksa dana saham berbasis saham-saham big cap.
Berita tentang prospek reksa dana saham di tengah memanasnya harga saham-saham big caps menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id.
Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id
Berikut ini highlight Bisnisindonesia.id, Selasa (8/2/2022):
Perbaikan kondisi ekonomi menjadi momentum kebangkitan bagi saham-saham berkapitalisasi besar alias big caps di tahun ini dan otomatis menjadi katalis positif bagi instrumen reksa dana saham.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, Rabu (16/2), indeks yang berisikan emiten big caps seperti IDX30 maupun LQ45 masing-masing tumbuh sebesar 4,91 persen year-to-date (YtD) dan 4,84 persen YtD, lebih tinggi ketimbang IHSG yang naik 4,08 persen YtD.
Adapun, posisi IHSG kemarin ditutup di level 6.850 yang merupakan level rekor baru penutupan tertinggi indeks komposit ini.
Prospek saham-saham big cap cukup menjanjikan sebab valuasinya saat ini masih murah. Apalagi, secara umum kondisi ekonomi mulai membaik, yang tentu menjadi sinyal membaiknya kinerja keuangan emiten-emiten big cap ini.
Ancaman penipisan pasok aluminium dunia akibat pemangkasan produksi oleh sejumlah negara utama mulai berimbas ke sejumlah sektor industri manufaktur di Indonesia, khususnya lini pengemasan dan otomotif.
Kenaikan harga aluminium di tingkat dunia berdampak ke industri dalam negeri. Hal itu tak lepas dari fakta bahwa aluminium foil berkontribusi sekitar 20 persen terhadap total biaya material di sejumlah sektor manufaktur.
Pelaku industri mulai bersiap mencari alternatif bahan lain untuk menggantikan aluminium foil meski tidak semua kebutuhan dapat disubstitusikan.
Salah satunya yakni plastic rolled metalize yang berbahan plastik dengan ketahanan yang mirip dengan aluminium foil.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sudah mempersiapkan sejumlah strategi kunci guna mempertahankan pertumbuhan kinerja yang apik tahun ini seperti sepanjang 2021 lalu, sekaligus mempertahankan posisinya sebagai bank dengan aset terbesar di Indonesia.
Konsolidasi aset bank-bank syariah keluarga BUMN ke dalam Bank Mandiri pada awal 2021 lalu telah menempatkan bank berlogo pita emas ini sebagai bank dengan aset terbesar di Tanah Air.
Tidak hanya dari sisi aset, emiten dengan kode saham BMRI juga berhasil membukukan pertumbuhan kinerja yang cukup baik dari sisi penyaluran kredit, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), pencatatan pendapatan bunga bersih, pendapatan non-bunga, hingga laba bersihnya.
Melihat kinerja yang semakin kinclong, Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Sigit Prastowo membeberkan tiga strategi pokok yang akan digarap perseroan di 2022.
Tidak ada untung besar tanpa risiko yang besar alias high risk high return, merupakan salah satu slogan dalam investasi. Hal itu berlaku bagi seluruh instrumen investasi, tak terkecuali aset kripto.
Aset digital yang semakin booming di era pandemi Covid-19 itu pun telah menyentuh berbagai lapisan kalangan. Jika menelisik ke belakang, naiknya pamor aset kripto tak lepas dari peran Elon Musk.
Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga menjalar ke artis-artis Indonesia. Salah satunya Syahrini yang menjual Syahrini’s Metaverse Tour pada Desember 2021.
Tak mau ketinggalan, Anang Hermansyah juga ikut meluncurkan token digital yang diberi nama ASIX. Token tersebut dirilis pada Januari 2022 lalu.
Artis atau figur publik yang meluncurkan token kripto seharusnya tidak hanya mengiming-imingi keuntungan yang besar tetapi juga harus memberikan pemahaman adanya risiko tinggi hingga kehilangan dana dari investasi kripto.
Jangkauan perjanjian mata uang lokal untuk transaksi lintas negara yang dilakukan Indonesia masih terbatas untuk dapat mengimbangi penguatan dolar Amerika Serikat. Dampaknya, kinerja ekspor dan impor Indonesia terkoreksi akibat beban nilai tukar greenback.
Berbagai upaya pemerintah untuk menarik pengusaha menggunakan mata uang lokal dalam kegiatan ekspor impor tidak kunjung berjalan optimal. Industriawan masih saja memilih dolar AS guna menghindari sejumlah risiko fluktuasi nilai tukar.
Rendahnya minat pengusaha dalam memanfaatkan fasilitas local currency settlement (LCS) yang sudah berjalan sejak 2018 diakui oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno.
Para eksportir cenderung kurang melirik skema LCS dalam transaksi perdagangan dengan empat negara yang sudah menjalin kesepakatan transaksi mata uang lokal dengan Indonesia; seperti China, Jepang, Malaysia dan Thailand.