Bisnis.com, JAKARTA - Dolar AS terdepresiasi untuk hari kedua berturut-turut pada penutupan perdagangan Rabu pagi (2/2/2022) di Asia, setelah mencapai level tertinggi 19 bulan pada akhir pekan lalu.
Pelemahan ini dipicu oleh rilis data ekonomi AS yang lebih lemah dari perkiraan. Tergelincirnya dolar AS juga didorong oleh pernyataan hati-hati pejabat Federal Reserve (Fed) tentang kenaikan suku bunga tahun ini. Alhasil, kondisi ini mengangkat selera risiko pasar.
Pada akhir perdagangan, indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya turun 0,3 persen menjadi 96,423, setelah mencapai level tertinggi 19 bulan minggu lalu.
Data manufaktur AS pada Selasa (1/2/2022) datang di bawah ekspektasi dan menambah untuk kerugian dolar. Indeks aktivitas manufaktur AS turun ke level terendah 14 bulan pada Januari, ke angka 57,6 dari 58,8 pada Desember di tengah wabah infeksi Covid-19. Pengeluaran konstruksi AS juga kurang dari perkiraan, turun 0,2 persen.
Saat dolar AS melemah, mata uang sensitif risiko seperti dolar Australia, euro, dan pound Inggris menguat.
Euro menguat 0,1 persen menjadi US$1,1244. Beberapa pelaku pasar percaya euro mungkin lebih menarik daripada yang diperkirakan sebelumnya dalam hal lintasan kenaikan suku bunga dan perbedaan antara Bank Sentral Eropa (ECB) dan Fed bisa menyempit.
Baca Juga
ECB meskipun mempertahankan sikap kebijakan moneter ultra-longgar, telah mendorong kembali ekspektasi untuk kenaikan suku bunga tahun ini.
Namun, data inflasi Jerman pada Senin (31/1/2022) jauh di atas ekspektasi, dengan harga konsumen naik 5,1 persen tahun ke tahun di Januari, mendukung pandangan potensi pergeseran hawkish dari ECB. Dolar juga turun 0,6 persen terhadap yen.
Sementara itu, dolar Australia turun semalam setelah bank sentral Australia (RBA) mendorong kembali terhadap ekspektasi untuk kenaikan suku bunga jangka pendek. Namun, dolar Aussie berakhir naik 0,6 persen pada US$0,7114.
Poundsterling Inggris menguat 0,5 persen terhadap dolar AS dan berakhir di level US$1,3517.