Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan akuntansi dan konsultasi asal Amerika Serikat, Grant Thornton memperkirakan efek dari krisis Evergrande bagi Indonesia adalah kenaikan biaya dana. Namun, krisis ini diproyeksikan tak mengganggu bisnis properti Tanah Air.
Managing Partner Grant Thornton Indonesia Johanna Gani menuturkan apabila biaya dana tinggi, pasar real estate di Indonesia akan sulit bekerja sama dengan pengembang China.
Dia juga mengatakan bahwa tidak dipungkiri dimungkiri kasus Evergrande dapat membawa dampak negatif, yang berhubungan erat dengan masuknya jumlah investasi asing ke Indonesia.
“Namun, kita harus melihat bahwa investasi properti di Indonesia masih didominasi oleh investor lokal yang sangat memerhatikan pergerakan pasar dalam negeri, sehingga properti di sini lebih dipengaruhi oleh iklim investasi dan pergerakan perekonomian di Indonesia,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (22/11/2021).
Johanna menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2022 diperkirakan naik, terlebih program pembangunan infrastruktur dari pemerintah ikut mendorong sektor properti untuk tumbuh dan berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional.
Hal tersebut terlihat dari data dari Bank Indonesia (BI) yang mencatat kredit kepemilikan rumah (KPR) tumbuh 8,7 persen per September 2021.
Baca Juga
“Evergrande tidak berdampak negatif terhadap sektor properti di Indonesia secara keseluruhan, memang ada pengaruhnya terhadap kondisi pasar keuangan, terutama pada surat berharga negara [SBN] dan pasar saham tanah air, namun saat ini sudah kembali pulih,” kata Johanna.
Selain itu, potensi imbas ke Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu ekspor dan hutang. Ini bisa berdampak pada penurunan ekspor berorientasi material properti, seperti besi baja, keramik, bahan tambang hingga kayu yang masuk dalam rantai pasok industri properti di China.
Johanna menyatakan jika Evergrande gagal untuk melakukan pembayaran, hal tersebut akan berdampak negatif pada bursa saham Indonesia, sehingga investor asing akan menyesuaikan kembali portfolio kepemilikan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
Sebagai informasi, Evergrande memiliki total liabilitas sekitar US$305 miliar. Hal ini terjadi karena buruknya sistem yang telah sekian lama dijalankan perusahaan properti di China, yang memanfaatkan utang sebesar-besarnya sebagai modal kerja usaha, sehingga menyebabkan Pemerintah China menerapkan kebijakan baru ‘three red lines’.
Pada dasarnya, kebijakan tersebut dicanangkan untuk menekan pertumbuhan utang perusahaan dengan mengatur batasan tiga rasio kredit utama guna menjaga likuiditas perusahaan supaya tetap berada di zona aman.