Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian BUMN terus melakukan upaya guna menyelamatkan emiten maskapai BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) dari jurang kepailitan. Selain mendukung restrukturisasi, Garuda juga didorong fokus pada orientasi bisnis penerbangan domestik.
Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan di tengah usaha restrukturisasi Garuda Indonesia, Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas terus melebarkan perspektif dan mengkaji berbagai kemungkinan opsi terkait langkah pemulihan.
Hal itu bertujuan agar flag carrier maskapai nasional itu bisa fokus pada orientasi bisnis di rute penerbangan domestik. Erick Thohir mendorong penandatangan kerjasama antara Garuda Indonesia dengan Emirates di Dubai, UEA, pada Rabu (3/11/2021).
Perjanjian dalam bentuk "code sharing" tersebut menyatakan bahwa pelanggan Garuda tetap bisa menjelajahi rute internasional melalui maskapai Emirates.
"Upaya restrukturisasi terus berjalan. Negosiasi utang-utang Garuda yang mencapai US$7 miliar karena leasing cost termahal yang mencapai 26 persen dan juga korupsi lagi dinegosiasikan dengan para lessor," urainya, dikutip Jumat (5/11/2021).
Meski demikian, Kementerian BUMN juga tetap berusaha membuka opsi-opsi lain, paling tidak, agar bisa membantu pemulihan Garuda Indonesia.
Baca Juga
Upaya yang telah dilakukan oleh managemen Garuda Indonesia dapat upaya melakukan penyelamatan maskapai nasional mendapat dukungan dari pemerintah. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo yang tidak ingin flag carrier tersebut bangkrut.
"Saya harus menekankan bahwa pemerintah tidak ingin membuat Garuda Indonesia bangkrut. Apa yang kami cari adalah penyelesaian utang baik di luar proses pengadilan atau melalui proses pengadilan," kata Tiko.
Dia juga mengatakan bahwa saat ini manajemen Garuda Indonesia tengah dalam pembicaraan dengan kreditor untuk merestrukturisasi utang dan mengharapkan untuk mencapai kesepakatan pada kuartal II/2022.
"Kami sedang bernegosiasi dengan banyak pihak dengan kebutuhan yang berbeda, sehingga preferensi mereka bervariasi," jelasnya.
Pada kesempatan terpisah, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan bahwa saat ini Garuda Indonesia berada di situasi yang pelik. Dan usaha negosiasi ulang dengan para lessor membutuhkan kerja yang ekstra.
"Sejauh ini, langkah terbaik yang didorong adalah penyelamatan melalui negosiasi ulang dengan para lessor. Hal tersebut yang kami lihat sedang diupayakan manajemen Garuda Indonesia saat ini. Hal Itu membutuhkan waktu panjang karena ada puluhan lessor," katanya.
Toto juga mengatakan Garuda Indonesia memang masuk pada situasi terburuk yang pernah dialami. Era yang sama saat Robby Djohan masuk di sekitar awal 2000-an menghadapi Garuda Indonesia yang terpuruk karena salah urus dan dituasi saat ini lebih kompleks.
Selain warisan salah urus manajemen sebelumnya, Garuda Indonesia menghadapi situasi dampak pandemi Covid-19 yang memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha industri penerbangan dunia.
"Garuda Indonesia butuh upaya restrukturisasi yang radikal terkait negosiasi dengan lessor dan kreditur,” katanya.
Sementara itu, Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri), Gerry Soejatman mengatakan bukan jalan keluar dan tidak mudah untuk menggantikan Garuda Indonesia. Hal ini dikarenakan Garuda Indonesia memiliki sarana prasarana yang sangat besar tidak sebanding dengan maskapai yang lain.
"Posisi Garuda Indonesia tidak mudah digantikan dengan maskapai seperti Pelita Air. hal tersebut lantaran Garuda Indonesia memiliki sarana prasarana yang sangat besar termasuk jumlah pesawat dan rute yang dilayani yang tidak sebanding dengan Pelita Air saat ini," katanya.