Bisnis.com, JAKARTA – Harga batu bara masih berpeluang naik sampai dengan akhir tahun meskipun masih rentan terkoreksi.
"Semuanya masih potensial naik namun akan banyak intervensi dari aturan-aturan pemerintah berbagai negara terutama di China,” kata Analis Komoditas dan Founder Traderindo.com Wahyu Laksono kepada Bisnis, Senin (1/11/2021).
Namun, dari sisi fundamental, harga batu bara bisa bergerak naik karena batu bara masih menjadi komoditas bahan bakar dan pembangkit listrik yang paling dibutuhkan di Asia, dan saat ini di dunia lantaran munculnya krisis energi.
Harga batu bara sempat turun hingga 50 persen dalam dua dekade tearkhir, namun berhasil naik 15 – 23 persen saat pandemi terjadi.
Saat ini, harga batu bara terkoreksi tipis setelah China berencana membangun 43 pembangkit listrik tenaga batu bara dan 18 blast furnace walaupun sudah berjanji untuk mengurangi emisi karbonnya dan mencapai netral karbon pada 2060.
Namun, karena krisis energi, harga batu bara tidak bisa turun terlalu jauh ke level terendah seperti pada awal tahun.
Baca Juga
“Jadi harga saat ini dikendalikan dan manipulasi dari China. Komisi Pengembangan dan Reformasi Nasional [NDRC] China membuat aturan yang bertujuan menghambat kenaikan harga terlalu jauh, dan sejauh ini mereka sudah puas dengan harga yang ada,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wahyu mengatakan harga batu bara tidak bisa terlalu tinggi karena bisa mengancam konsumen energi atau listrik, dan tidak bisa terlalu rendah karena mengancam produsen dan perusahaan pertambangan serta sektor keuangan yang terkait dengan pembiayaan perusahaan terkait.
Wahyu memprediksikan harga batu bara bisa bertahan di kisaran US$200 per ton dan menjadi level “magnet” untuk menahan harga naik atau turun lebih lanjut.
“Untuk level support di US$140- US$110 per ton, dan level resistensi di US$170 – US$200 per ton,” imbuhnya.