Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kenaikan imbal hasil obligasi 10 tahun Indonesia akibat sentimen kenaikan US Treasury, masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, seperti Filipina dan Rusia.
"Indonesia mengalami kenaikan 11 persen relatif lebih kecil dibandingkan bonds di negara emerging," ujar Sri Mulyani, Selasa (23/3/2021).
Alhasil, spread dari obligasi dolar AS milik Indonesia dengan tenor 10 tahun menjadi lebih baik dibandingkan obligasi dolar dengan tenor yang sama milik Filipina.
Dari data Kemenkeu, Filipina mencatat kenaikan imbal hasil sebesar 48 persen (year to date/ytd) hingga 19 Maret 2021. Dari kenaikan ini, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun Filipina mencapai 2,27 dan Indonesia 2,20. Indonesia hanya meningkat sebesar 11 persen ytd. Adapun, Rusia dan Brazil masing-masing 29 persen.
Membaiknya spread obligasi Indonesia dibandingkan obligasi Filipina dan beberapa emerging market harus dapat dipertahankan, menurut Sri Mulyani. "Spread membaik, yield kita lebih rendah dan ini perlu kita jaga dari sisi confindent dari trennya," pesan Sri Mulyani.
Di sisi lain, tingkat credit default swap Indonesia cenderung stabil sepanjang tahun berjalan.
Baca Juga
Berdasarkan data worldgovernmentbonds.com, credit deafult swap (CDS) 5 tahun Indonesia per 22 Maret 2021 pagi ada di level 74,92.
Posisi tersebut mengindikasikan probabilitas default atau gagal bayar sebesar 1,25 persen.
Sepanjang tahun berjalan, CDS 5 tahun Indonesia terpantau bergerak cenderung stabil, meski sempat mengalami lonjakan sebanyak dua kali di awal tahun, yakni pada 11 Januari 2021 dan 25 Januari 2021 yakni mendadak lompat ke level 171,80.
Sementara itu, CDS 10 tahun Indonesia ada di level 139,89. Pun, sepanjang tahun berjalan persepsi risiko untuk surat utang tenor 10 tahun tersebut juga terbilang stabil dan berada di kisaran 126,54—151,85.
Pada Maret 2020 lalu, CDS 10 tahun Indonesia juga sempat ikut melonjak bahkan hingga mencapai level 399,17.