Bisnis.com, JAKARTA — Kendati indeks harga saham gabungan (IHSG) kini telah mampu melenggang di level 6.300an, pasar saham Indonesia dinilai belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi yang telah setahun melanda Tanah Air.
Setahun belakangan sejak pandemi melanda Tanah Air, pasar modal menjadi salah satu yang paling terdampak. Bahkan, indeks komposit sempat amblas menyentuh titik terendahnya pada level 3.937,63 pada 24 Maret 2020.
Kemudian, pada periode Maret - Agustus 2020, IHSG bergerak fluktuatif di zona merah dengan tren meningkat.
Walaupun pergerakan IHSG kembali tertekan setelah Agustus 2020, indeks resmi keluar dari teritori negatif pada pekan kedua November 2020.
Penguatan IHSG terus berlanjut hingga sempat menyentuh level tertinggi berada pada level 6.435,20.
Secara bulanan, terpantau pelemahan IHSG paling signifikan terjadi pada September 2020 dengan penurunan 7,03 persen. Sedangkan apresiasi paling tinggi terjadi pada November 2020 ketika IHSG melesat 9,44 persen.
Baca Juga
Secara keseluruhan, sepanjang periode 2 Maret 2020 hingga 2 Maret 2021 IHSG menguat 18,61 persen dengan pergerakan rata-rata pada level 5.276,25. Adapun per penutupan perdagangan 2 Maret 2021, IHSG parkir di level 6.359,20.
Analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan secara angka memang indeks komposit telah kembali ke level prapandemi, bahkan telah leboh tinggi dibanding awal Maret tahun lalu ketika pandemi baru mulai merebak.
Akan tetapi, dia menilai pasar saham belum sepenuhnya pulih karena secara fundamental mayoritas emiten mencatatkan kinerja tertekan sepanjang 2020 lalu sehingga capaian IHSG saat ini belum menunjukkan kondisi aslinya.
“Dari sisi pergerakan memang setelah sempat turun sekali sekarang bisa recovery cukup cepat bahkan sudah sempat tembus 6.500an. Ini pencapaian luar biasa walaupun belum bisa kita katakan sudah pulih seutuhnya,” tutur Reza kepada Bisnis, Selasa (2/3/2021).
Menurutnya, kehadiran investor ritel yang menjadi motor pendorong kenaikan IHSG. Pasalnya Reza menilai para investor saat ini sudah pintar memanfaatkan momentum untuk masuk di saat pasar turun.
“Berarti ada faktor lain selain fundamental dari emiten yang memengaruhi IHSG, yaitu persepsi pasar itu. Ketika melihat harga saham A turun sangat dalam, mereka manfaatkan untuk masuk, jadi ikut mendongkrak,” jelasnya.
Selain itu, tambah dia, tren influencer saham juga dinilai turut menjadi bahan bakar ramainya pasar modal di tengah pandemi, termasuk menyulut kenaikan jumalh investor, frekuensi transaksi, dan nilai transaksi.
Di sisi lain, level indeks yang tak sepenuhnya mencerminkan fundamental membuat investor asing masih cenderung wait and see untuk kembali masuk ke pasar modal Indonesia, meski kini mulai berangsur hadir kembali.
“Berbeda dengan ritel, asing ini umumnya corporate yang mencari investasi di bursa saham kita, jadi saat mereka invest pasti kalkulasinya panjang mulai dari fundamental, proyeksi ke depan, prospek bisnis, sehingga melihat pandemi ini mereka pasti tahan diri,” tutur Reza.
Dia memperkirakan, ketika pemulihan ekonomi terjadi tahun ini dan kinerja emiten mulai bangkit lagi, asing akan kembali meningkatkan porsi investasinya di Indonesia. Pun, ini akan semakin menjaga volatilitas pasar modal di Tanah Air.
“Banyak ritel itu meski bagus tapi volatilitas tinggi, karena mereka tipikalnya lebih banyak tradin jadi lebih cepat buy and sell ketika ada sentimen, makanya volatilitas tinggi. Short-middle term saya rasa masih akan begini,” pungkasnya.