Bisnis.com, JAKARTA - Belum lama ini banyak investor ritel di pasar modal mengeluhkan rugi akibat bermain saham. Usut punya usut, ternyata hal itu disebabkan oleh minimnya analisa fundamental.
Seperti yang terjadi pada saham PT Aneka Tambang Tbk. (Persero) atau saham Antam dan beberapa saham lainnya belum lama ini.
Banyak investor baru atau yang saat ini sering disebut "Investor angkatan Corona" hanya mengikuti orang lain atau juru pom-pom saat membeli saham. Tidak heran bila kemudian banyak yang tersangkut saham dengan harga yang sudah kemahalan.
Investor kawakan Lo Kheng Hong selalu mengatakan bahwa kunci mendulang cuan dari pasar modal adalah menemukan saham yang salah harga. Hal ini dalam artian, saham yang memiliki harga pasar di bawah nilai fundamentalnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menemukan saham salah harga tersebut?
Ada banyak formula yang digunakan investor untuk menentukan kelayakan harga saham. Salah satu cara valuasi yang populer dan tidak terlalu rumit untuk mengukur mahal atau murahnya sebuah saham adalah price earning ratio (PER) atau rasio harga saham terhadap laba bersih emiten.
Sederhananya, makin tinggi/besar nilai PER, maka harga saham emiten yang bersangkutan dianggap semakin mahal, dan semakin kecil rasionya, makin murah. PER yang rendah menunjukkan harga saham masih murah sehingga memberi peluang terhadap kenaikan harga saham di masa mendatang.
Sebaliknya, dengan PER yang tinggi sering diasosiasikan sebagai saham dengan harga yang cukup mahal sehingga sulit untuk naik lagi dan pada akhirnya berpeluang untuk turun kembali ke nilai fundamentalnya.
Secara matematis, formula yang berlaku umum untuk menghitung PER adalah harga saham dibagi dengan earning per share (EPS) atau laba per saham. EPS ini diperoleh dari laba bersih dibagi dengan jumlah saham beredar. Hasil dari formula ini adalah kebenaran mutlak.
Namun investor juga bisa melihat valuasi PER dari sudut pandang sebaliknya, yaitu PER yang tinggi menunjukkan ekspektasi pasar terhadap saham bersangkutan.
Dengan demikian, cara tersebut menjadi sebuah kebenaran yang relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing investor.
Selain PER, ada pula cara yang tidak rumit lainnya, yaitu price to book value (PBV) atau rasio harga saham terhadap nilai buku. Para penganut model ini biasanya menilai PER kerap berubah secara drastis lantaran dihitung berdasarkan laba bersih perusahaan dalam suatu periode tertentu.
Seperti diketahui, laba kerap berubah tidak hanya karena manajemen perusahaan. Akan tetapi tidak jarang naik dan turun laba disebabkan oleh faktor eksternal.
Sementara itu PBV adalah cara menghitung dengan membagi harga saham di pasar dengan nilai buku per saham. Nilai buku per saham dapat dihitung dengan membagi jumlah ekuitas dengan jumlah saham beredar.
Apabila menggunakan metode PBV, semakin rendah rasionya artinya semakin murah saham tersebut. Apabila menggunakan cara valuasi ini, jangan lupa juga untuk membandingkan dengan emiten yang bergerak di sektor serupa.
Adapun berikut rumus PER dan PBV:
PER
PER = Harga saham perlembar/ EPS
EPS = Laba bersih / Jumlah saham beredar
PBV
PBV = Harga saham perlembar/ Nilai buku perlembar (BVPS)
BVPS = Total ekuitas / jumlah saham beredar