Bisnis.com, JAKARTA - Emiten konsumer PT Unilever Indonesia Tbk. sebagai salah satu penguasa pangsa pasar bisnis fast moving consumer goods (FMCG) di Indonesia optimistis pemulihan daya beli masyarakat akan terjadi pada 2021.
Sekretaris Perusahaan Unilever Indonesia Reski Damayanti menjelaskan pihaknya siap menangkap peluang pada saat pemulihan ekonomi terjadi.
“Kami yakin bahwa 2021 merupakan tahun pemulihan. Dengan memperkuat daya saing di lintas kategori dan kanal penjualan, perseroan berada di jalur yang tepat untuk tetap menjadi yang terdepan,” kata Reski kepada Bisnis, Sabtu (6/2/2021).
Reski menunjukkan optimisme itu diperkuat oleh rilis survei konsumen yang dilakukan Bank Indonesia pada Desember 2020.
Dalam data tersebut, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dilaporkan naik ke level 96,5 dari posisi bulan sebelumnya pada level 92. Data tersebut juga mengungkap bahwa aspek pengeluaran rutin menjadi kontributor terbesar dalam mendorong indeks IKK
Selain data dari bank sentral, Reski mengatakan optimisme juga terlihat dari rilis proyeksi pertumbuhan sektor makanan dan minuman yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian.
Kementerian Perindustrian menargetkan industri mamin pada 2021 ini akan bertumbuh sekitar 4,44 persen dibandingkan tahun lalu.
Baca Juga
Untuk menangkap peluang pemulihan tersebut, emiten berkode saham UNVR ini telah menyiapkan sejumlah strategi. Salah satunya dengan melakukan akselerasi inovasi yang menjawab kebutuhan pasar melalui produk dengan harga terjangkau.
Selanjutnya perusahaan juga akan memperkuat rantai pasok berbasis daring agar mempermudah konsumen mengakses produk berkualitas dari Unilever dari berbagai tempat.
“Upaya ini kami harapkan bisa mendukung pemulihan ekonomi nasional,” imbuh Reski.
Pada akhir pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 tumbuh minus 2,07 persen. Tekanan dampak pandemi menyebabkan produk domestik bruto (PDB) Tanah Air anjlok dibandingkan 2019 yang tumbuh 5,02 persen.
"Indonesia tidak sendiri. Pandemi ini betul-betul menyebabkan kontraksi yang sangat buruk di berbagai negara," ujar Kepala BPS Suhariyanto.