Bisnis.com, JAKARTA — Setelah menjadi jawara di tahun lalu, kinerja reksa dana pendapatan tetap di awal 2021 ini terbilang loyo. Apa sebabnya?
Berdasarkan data Infovesta Utama per 15 Januari 2021, secara year to date reksa dana pendapatan tetap mencetak kinerja negatif yakni -0,72 persen. Padahal sepanjang 2020 imbal hasil reksa dana satu ini menjadi yang paling tinggi yakni 8,99 persen.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan kinerja reksa dana pendapatan tetap yang loyo terseret oleh penurunan harga obligasi di awal tahun ini. Terlihat dari yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun yang terus naik.
Mengacu pada worldgovernmentbonds.com, yield SUN 10 tahun per 15 Januari 2021 ada di level 6,252 persen, naik 26,8 bps dari posisi awal tahun di 5,984 persen. Seperti diketahui, ketika yield SUN 10 tahun naik, harga obligasi turun, begitu pula sebaliknya.
Apalagi, tambah dia, tahun ini pemerintah kembali melakukan strategi front loading atau penerbitan obligasi di awal tahun, ditambah plus ada kenaikan kasus Covid-19, sehingga investor mengekspektasikan jumlah obligasi yang diterbitkan bisa lebih besar.
“Sehingga terjadi koreksi harga,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (18/1/2021)
Baca Juga
Untuk produk reksa dana pendapatan tetap sendiri, semakin banyak porsi obligasi pemerintah menjadi aset dasar, maka akan membuat reksa dana pendapatan tetap semakin volatil.
“Sebab obligasi pemerintah memang aman dari risiko gagal bayar, tapi karena jangka waktunya panjang, harganya bisa bergerak liar sebelum kembali ke 100 ketika jatuh tempo,” jelasnya.
Di sisi lain, aset surat utang lainnya yaitu obligasi korporasi memang memiliki risiko gagal bayar lebih besar tapi jatuh temponya relatif pendek. Biasanya hanya 3, 5 dan 7 tahun, dibandingkan obligasi pemerintah ada yang sampai 30 - 50 tahun.
“Jadi harganya walaupun juga berubah tapi kecil,” katanya.
Rudiyanto mengatakan fenomena koreksi harga obligasi biasanya hanya bersifat sementara. Menurutnya, ketika kebutuhan penerbitan obligasi pemerintah telah terpenuhi kemungkinan koreksi harga akan berhenti dan yield kembali turun.
Tak hanya itu, Rudiyanto mengatakan kondisi ekonomi Indonesia juga masih memberikan sentimen positif bagi pasar obligasi. Salah satunya suku bunga acuan Bank Indonesia tidak naik, yang mana biasanya yield SUN akan mengikuti suku bunga acuan.
Kemudian, saat ini defisit APBN pemerintah masih tinggi dan membutuhkan pendanaan dari SUN. Sehingga secara otomatis, jika yield SUN tinggi, maka ketika pemerintah menerbitkan lagi harus membayar bunga yang lebih tinggi
“Kalau sudah begini, bisa jadi Bank Sentral akan masuk ke pasar dan membeli di secondary market,” tuturnya.
Di sisi lain, dia melihat kepemilikan asing terhadap SUN juga masih terus menunjukkan tren naik yang artinya investor asing masih terus membeli SUN.
Rudiyanto memproyeksikan reksa dana pendapatan tetap masih dapat mencetak imbal hasil sekitar 5—8 persen tahun ini. Reksa dana pendapatan tetap akan berkejaran dengan reksa dana saham yang tancap gas di awal tahun ini.
“Kalau perihal siapa lebih tinggi atau rendah masih sulit sih untuk dikatakan mengingat kinerja saham yang volatile,” kata dia.
Dia menjelaskan, asumsi harga wajar IHSG tahun ini 6700—7500. Mengingat tingginya partisipasi investor lokal dan likuiditas yang berlebih, Rudiyanto memperkirakan IHSG bisa menembus level batas atas dengan tingkat volatilitas yang tinggi.
“Saham kalau tembus 6700 saja itu jatuhnya [tumbuh] 12 persenan, kalau lebih ya syukur. Reksa dana saham bisa di atas itu,” tutupnya.