Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) turut berimbas pada performa positif emiten-emiten perkebunan pada Senin (26/10/2020).
Berdasarkan data dari laman Bursa Malaysia pada Senin (26/10/2020) hingga pukul 14.10 WIB, harga minyak kelapa sawit untuk pengiriman Januari 2021 sempat mencapai level 3.010 ringgit per ton sebelum parkir pada settlement price sebesar 2.942 ringgit per ton.
Kenaikan juga terjadi pada CPO pengiriman Desember 2020 yang mencapai 3.101 ringgit per ton. sebelum tiba pada settlement price sebesar 3.028 ringgit per ton.
Kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah juga turut mengerek naik sejumlah emiten perkebunan sawit. Hingga pukul 14.19 WIB, saham PT Provident Agro Tbk (PALM) meroket 19,35 persen ke level 370.
Menyusul di belakangnya adalah PT PP London Sumatera Indonesia dengan kenaikan 4,28 persen ke level 975.
Selanjutnya, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) serta PT Astra Agro Lestari juga menikmati kenaikan ini masing-masing sebesar 1,90 persen dan 1,19 persen.
Baca Juga
Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, kenaikan harga CPO ditopang oleh siklus bisnis komoditas ini. Ia menjelaskan, anjloknya permintaan di awal tahun terkait Covid-19 menekan produsen atau perusahaan CPO.
Selain itu, kebijakan lockdown atau pembatasan kerja serta tekanan harga juga turut menekan produksi sehingga menekan pasokan.
Prospek kenaikan harga minyak kelapa sawit juga didukung oleh lonjakan harga yang dialami oleh komoditas kompetitor, yakni kacang kedelai.
Ia menuturkan, selama sebulan terakhir harga kacang kedelai telah naik double digit seiring dengan antisipasi penurunan produksi minyak kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia.
“Selain itu, pada akhir tahun harga CPO memang cenderung menguat seiring dengan musim yang mendukung sektor energi seperti minyak dan gas alam,” tambahnya.
Pergerakan harga CPO juga akan dipengaruhi oleh sentimen di AS. Kabar pemilihan presiden dan paket stimulus fiskal dinilai akan mendukung ekonomi dan bursa saham di negara tersebut, sehingga akan turut mengerek naik nilai minyak kelapa sawit.
Lebih lanjut, kebijakan yang diambil oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) juga mendukung kenaikan harga komoditas, termasuk CPO. Wahyu menjelaskan, saat ini The Fed menggunakan target rata-rata inflasi yang diperbolehkan melewati 2 persen tanpa harus mengubah kebijakannya.
Kebijakan ini, ujar Wahyu, sangat akomodatif dan dapat memicu pelemahan dolar AS serta menguatkan lawan dolar AS seperti mata uang lain dan komoditas seperti minyak kelapa sawit.
“Kondisi-kondisi tersebut masih mengarah kepada skenario yang mendukung terjadinya reflationary trade. Kemungkinan kenaikan terbatas pada CPO masih cukup terbuka,” pungkasnya.
Ia menambahkan, kenaikan harga CPO juga didukung oleh faktor siklus cuaca La Nina. Siklus tersebut mengakibatkan kenaikan curah hujan pada sejumlah negara pengekspor seperti Malaysia dan Indonesia.
Wahyu menjelaskan, frekuensi hujan yang akan lebih tinggi berpotensi menghambat pengiriman minyak kelapa sawit. Hal ini akan berimbas pada penurunan produksi dan menyebabkan kenaikan harga CPO.
Wahyu melanjutkan, sentimen cuaca ini juga dapat berimbas pada koreksi lebih jauh terhadap harga CPO. Siklus cuaca La Nina yang akan berakhir akan membuat para produsen lebih mudah dalam memanen buah sawit. Hal tersebut juga akan berdampak pada kenaikan pasokan CPO dunia yang akan menyeret harga CPO turun.
“Walaupun masih bisa menguji kisaran 3.000 hingga 3.300 ringgit per ton, potensi koreksi juga semakin besar. Kemungkinan penurunan harga dapat mencapai level 2.700 hingga 2.800 ringgit per ton.