Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah berbalik melemah setelah menguat selama enam hari perdagangan berturut-turut seiring dengan penguatan dolar AS di tengah ketidakpastian stimulus ekonomi oleh Pemerintah AS.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Selasa (13/10/2020) nilai tukar rupiah ditutup di level Rp14.725 per dolar AS, melemah 0,17 persen atau 25 poin.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama bergerak menguat 0,1 persen ke level 93,156.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa pelemahan rupiah didukung oleh sentimen ketidakpastian stimulus AS dan kekhawatiran pasar terhadap demo terkait omnibus law UU Cipta Kerja.
“[Sentimen itu] memberikan tekanan terhadap rupiah pada perdagangan kali ini,” ujar Ariston kepada Bisnis, Selasa (13/10/2020).
Dia juga menjelaskan dua sentimen negatif itu diyakini masih akan membayangi pergerakan nilai tukar rupiah untuk sepanjang pekan ini.
Baca Juga
Kendati demikian, pasar tampak tengah menanti pembicaraan stimulus AS yang masih berlangsung dan debat Presiden AS yang bisa memberikan sentimen positif ke pasar bila stimulus diindikasikan akan dirilis dan Joe Biden berpotensi menang.
Dia memprediksi sepanjang pekan ini rupiah berada di kisaran Rp14.650 hingga Rp14.800 per dolar AS.
Di sisi lain, Ariston menilai keputusan Bank Indonesia untuk kembali mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar hari ini tidak berdampak signifikan terhadap rupiah.
“Karena itu sudah diekspektasikan oleh pasar kalau suku bunga BI tetap,” papar Ariston.
Untuk diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 dan 13 September 2020, memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 4,00 persen.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar rupiah saat ini yang berada di kisaran 14.700 tergolong undervalued atau berada di bawah fundamentalnya.
Dia beralasan, beberapa indikator penguatan seperti transaksi berjalan, inflasi, dan premi risiko justru masih dalam kondisi yang baik khususnya pada paruh kedua tahun ini.
"Kami memandang potensi akan menguat dengan seiring didukung dengan defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi yang rendah di bawah 2%, dan daya tarik dalam negeri yang cukup kuat serta premi risiko yang turun," katanya usai Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (13/10/2020).
Dia menyebutkan otoritas moneter pun masih memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat menjaga stabilitas rupiah pada akhir tahun ini.