Bisnis.com, JAKARTA — Jumlah penerbitan produk reksa dana sepanjang tahun ini menyusut dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pandemi disebut jadi salah satu penyebabnya.
Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan, secara total produk reksa dana (RD) yang beredar dan tersedia, jumlahnya memang masih lebih banyak dibandingkan tahun lalu.
Tercatat, dari Januari hingga Juli 2020 terdapat 1.160 produk reksa dana konvensional yang beredar, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni 1.093 produk.
Pun, angka tersebut merupakan akumulasi dari penambahan produk reksa dana baru serta pengurangan produk yang dilikuidasi.
Akan tetapi, jika dilihat dari penambahan produk baru, jumlah penerbitan produk reksa dana anyar tahun ini cenderung lebih lesu dibandingkan 2019 lalu.
Berdasarkan data Infovesta Utama, secara year to date hingga akhir Agustus 2020, hanya terdapat 57 produk reksa dana (RD) yang baru diterbitkan. Jumlah tersebut meliputi jenis RD saham, RD pendapatan tetap, RD pasar uang, dan RD campuran.
Baca Juga
Secara rincian, RD pasar uang merupakan produk yang paling banyak dirilis oleh manajer investasi tahun ini, yakni 20 produk. Diikuti dengan RD campuran 20 produk, RD pendapatan tetap 12 produk, dan RD saham 5 produk.
Sebagai gambaran, dalam periode yang sama tahun lalu, setidaknya ada 89 produk reksa dana produk reksa dana yang diterbitkan oleh MI. Pun, produk RD pasar uang juga menjadi yang terbanyak dengan 41 produk.
Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich mengatakan penerbitan produk reksa dana pasar uang memang menjadi yang paling banyak dilakukan oleh manajer investasi.
Pasalnya, minat terhadap reksa dana jenis ini dinilai paling tinggi dibandingkan dengan jenis reksa dana lainnya. Reksa dana pasar uang memiliki karakter yang tak terpengaruh volatilitas pasar dan cocok untuk investasi jangka pendek.
“[RD pasar uang] juga cocok untuk menampung likuiditasi di institusi,” ungkapnya kepada Bisnis, Senin (7/92020).
Adapun, dia menyebut saat ini investor institusi yang paling banyak masuk ke produk reksa dana adalah asuransi dan perbankan.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan penerbitan reksa dana tahun ini terganggu oleh pandemi Covid-19. Menurutnya, adanya pagebluk ini membuat penawaran lebih terbatas.
“Ditambah waktu itu beberapa kasus investasi yang bermasalah dengan hukum mulai mencuat. Jadi periode Maret-Juli terganggu pandemi, mulai Juli-Agustus sudah mulai normal,” katanya ketika dihubungi Bisnis, Selasa (8/9/2020)
Menurutnya, kebanyakan manajer investasi pasti telah memiliki rencana penerbitan produk baru. Hal yang kerap dapat mengubah rencana itu hanya berdasarkan faktor supply atau demand.
“Biasanya salah satu, tapi waktu Covid-19 itu dua-duanya,” imbuh Rudiyanto
Senada, Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan pandemi memang memengaruhi penerbitan produk reksa dana, terutama dari sisi terganggunya ketersediaan aset.
Sebab, pandemi membuat banyak emiten menunda aksi korporasinya, baik yang baru mulai melantai di bursa maupun yang akan menerbitkan surat utang atau obligasi. Ini kemudian menyebabkan MI kesulitan mencari aset dasar untuk portofolionya.
“MI-nya wait and see, investornya juga lebih banyak yang menunggu, sehingga penerbitan produk barunya relatif lebih kecil,” tutur Wawan.
Tidak Berpengaruh
Kendati demikian, Wawan menilai dampak dari berkurangnya penerbitan produk reksa dana ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja industri reksa dana secara keseluruhan karena terlihat dana kelolaan dan unit penyertaan masih tetap naik.
“Terus tumbuh kok jadi artinya minat investor tetap tinggi. Kan kalau mereka masuk masuk reksa dana ini nggak harus ke produk baru, ke produk eksisting juga oke,” tuturnya.
Dari data OJK per 31 Agustus 2020, dana kelolaan reksa dana secara industri mencapai Rp520,83 triliun, naik 3,34 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai Rp504,00 triliun.
Realisasi tersebut hanya terpaut sedikit dari posisi dana kelolaan sebelum pandemi yakni sebesar Rp525,27 triliun pada Februari 2020 dan Rp537,32 triliun pada Januari 2020.